Candi Tawangalun,
Buncitan, Sidoarjo
JEJAK SEJARAH
PETILASAN ARYA DAMAR
Mempelajari situs kuno selalu menarik. Entah dari segi kisah maupun
aspek mistis yang hampir selalu mengiringi. Namun yang lebih utama adalah bagaimana
menjaga kelestariannya sebagai warisan budaya masa lalu. Jangan sampai, kelak
kejayaan bangsa hanya tinggal cerita. Karena jika bukan kita siapa lagi akan
melestarikannya?
Kebosanan akan hiburan
yang mindstream, membawa salah
seorang kru Derap Desa (DD) menelusuri jejak sejarah yang nyaris terlupakan.
Candi Tawangalun menjadi salah satu objek sejarah yang ditawarkan rekan sesama
pekerja media kala itu. Alasannya sederhana, peninggalan kerajaan Majapahit ini
nyaris tidak tersentuh renovasi.
Beruntung, didepan
onggokan batu bata merah yang sebelumnya dikira sisa kontruksi tersebut
terdapat tulisan Candi Tawangalun dengan huruf kapital. Lengkap dengan deretan
kalimat undang-undang tentang pelestarian bangunan ataupun peninggalan sejarah.
Kalau tidak, barangkali tidak akan ada pengunjung yang tahu kalau bangunan
berundak itu adalah candi bersejarah.
Kondisi ini, tentu saja, sangat berbeda
dengan candi-candi yang umumnya masih banyak ditemui di sekitar
Sidoarjo. Candi Pari atau Sumur di Kec Porong, Sidoarjo misalnya. Kendati mengalami
kerusakan di beberapa bagian akibat termakan usia, tapi bentuk aslinya sebagai
sebuah candi masih dapat disaksikan.
"Kalau dibilang berantakan, ya,
memang begini keadaannya. Tapi
memang inilah Candi Tawangalun," tutur Ahmad Saiful Munir, juru kunci
Candi Tawangalun, menanggapi keterkejutan DD yang kala itu
berkunjung.
Candi Tawangalun berdiri
di sebuah area perbukitan kecil di kawasan Kampung Baru Desa Buncitan Kec
Sedati Kab Sidoarjo. Berada ditepian pesisir selat berupa rawa yang dijadikan tambak bandeng. Selain itu, di lokasi
perbukitan itu pula tepatnya disebelah selatan area candi yang lebih lapang
terdapat sebuah pemakaman umum.
Diyakini, Candi Tawang Alun
dibangun pada masa kerajaan Majapahit. Hal ini terlihat dari
material batu bata merah padat bercorak Hindu. Tawangalun dulunya juga dikenal
dengan sebutan Candi Sumur Windu. Hal ini berdasarkan bentuk
candi yang berlubang di tengah dengan diameter mencapai satu meter persegi. Juga bekas struktur
konstruksi berundag yang dipakai sebagai tangga menuju
perut candi. Kendati saat ini, tidak ada lagi sumber air yang mengalir dari
dalam Candi Tawangalun.
Dilihat dari bentuk dan
posisinya, Candi Tawangalun juga diyakini hanyalah salah satu dari keseluruhan
bangunan kompleks candi. Berdasarkan analogi kontruksi bangunan Candi Pari,
disimpulkan Candi Tawangalun merupakan bangunan pendukung untuk mensucikan diri
sebelum seseorang melakukan pemujaan dan tirakat di candi utama.
“Dulu banyak sekali reruntuhan
candi di sekitar sini. Tapi sekarang yang masih bisa dijumpai tinggal Candi
Tawangalun ini,” tutur Saiful mendukung.
Selain menjadi
satu-satunya situs yang tersisa, Candi Tawangalun yang resmi diakui sebagai
situs sejarah sejak 2008 ini, keadaannya jauh dari kata layak. Perawatan ala
kadarnya dari juru kunci candi yang membuatnya bertahan di tepi pemukiman
penduduk yang semakin merangsek mendekati kompleks candi.
Salah satu upaya Saiful,
dengan memasang pembatas pagar kayu mengelilingi kompleks candi. Ia juga
menjadikan kompleks Candi Tawangalun sebagai ‘galeri seni tanpa dinding’ dengan
menempatkan beberapa karya buatannya. Patung Gajah Mada, dan beberapa fosil ikan purba, karang,
kerang, batuan laut, dan fosil laut lainnya ditata membentuk
gunungan menghiasi area candi yang cenderung gersang tersebut.
Hal miris lainnya, area candi
yang diyakini dulunya merupakan kawasan laut dangkal yang sudah mengering
terdapat beberapa lubang yang menyemburkan lumpur. Hanya saja intensitasnya
tidak terlalu besar sehingga tidak membahayakan. Kendati terdapat pula salah
satu lubang semburan yang berasa di sisi candi yang sempat menyebabkan beberapa
batu bata bangunan candi longsor terbawa arus lumpur.
“Itu sebabnya saya bikin
kubangan disini, supaya lumpurnya tertampung disini sehingga tidak mengganggu
bangunan candi,” terang Saiful sembari menunjuk kolam kecil di selatan candi
yang kala itu mengering.
Ada peristiwa menarik perihal lubang semburan lumpur
tersebut, menjelang terjadinya
tragedi semburan Lumpur
Lapindo,
29 Mei 2006, genangan
lumpur di
tempat ini mengalami peningkatan. Namun karena ketidakpahaman Saiful, hal itu diabaikan. Tidak lama setelah
peristiwa itu, terdengar kabar terjadi bencana lumpur lapindo.
“Selama ini ya sebatas ini
yang bisa saya lakukan. Saya berharap pemerintah maupun masyarakat, ayolah kita
lebih peduli terhadap peninggalan sejarah. Jangan sampai ini hilang,” pesan
Saiful penuh harap.
Petilasan Arya Damar
Berada di areal Candi Tawangalun kita akan merasakan angin
semilir bercampur hembusan angin hangat, khas udara pesisir. Sesekali bau belerang
menghampiri indra penciuman, menambah kesan mendalam tentang kejayaan masa silam ketika candi ini
masih berfungsi sebagaimana mestinya. Masa dimana nilai-nilai kehidupan dipelajari dan dipegang teguh
sebagai panutan.
Seperti layaknya semua tempat
bersejarah, Candi Tawangalun hidup diantara masayarakat yang memiliki kearifan
lokalnya sendiri. Kisah mistis yang berujung pada larangan dan keharusan
terbukti mampu menjadi peringatan agar masyarakat tidak berbuat cela. Pesan moral dari mitos
itu jelas: jangan merusak. Sebuah cara yang elegan untuk memelihara konstruksi pemahaman bahwa situs-situs sejarah dibangun sebagai tempat suci,
dan siapapun harus bertanggung jawab kepada kelestarian kesuciannya.
Sejarah Candi Tawangalun
sendiri erat kaitannya dengan keberadaan Putri Alun, salah seorang selir Raja
Majapahit, Brawijaya II dan anaknya Jaka Dila atau yang juga dikenal dengan
nama Arya Damar. Dikisahkan, pada masa Kerajaan Majapahit ada seorang butho (raksasa, red) yang bernama Resi
Tawangalun. Resi Tawangalun mempunyai
putri yang bernama Putri Alun. Suatu ketika Putri Alun yang menyukai Raja Brawijaya meminta
kepada sang
ayah agar merubahnya menjadi
cantik sehingga
Raja Brawijaya II tertarik padanya.
Singkat cerita, Sang Raja Brawijaya pun mempersunting Putri Alun
menjadi selirnya. Namun Putri Alun yang seorang raksasa muncul sifat
aslinya. Suatu hari pelayan istana mendapati Putri Alun dengan lahap menyantap
daging mentah. Kejadian itu dilaporkan pada Raja Brawijaya II, raja pun marah
dan kesal sehingga tanpa pikir panjang mengusir Putri Alun yang kala itu sedang
hamil tua. Dalam keadaan sedih, Putri Alun pun kembali pada ayahnya dan melahirkan anak yang di beri nama
Jaka
Dila.
Saat beranjak dewasa, Jaka Dila menanyakan siapakah ayahnya. Putri Alun pun mengatakan bahwa ayahnya adalah
Raja Brawijaya II. Demi mendapat pengakuan, Jaka Dila pun datang menemui
Raja Barawijaya II. Sebagai syarat untuk
pengekuannya, Raja Brawijaya II meminta Jaka Dila membuat damar (lampu)
tanpa pegangan, asal muasal Julukan Arya Damar. Serta syarat kedua, membawakan tanah yang harus sama persis dengan tanah yang ada di kerajaan (Trowulan).
Berbekal kesaktian yang
diwariskan kakeknya, kedua
syarat tersebut dapat dengan mudah dilakukan. Akan tetapi bukannya mengakui Jaka Dila sebagai anak, Raja Brawijaya II justru kembali mengajukan syarat ketiga, membunuh Resi Tawangalun, kakeknya.
Ditengah keinginan mendapat
pengakuan dan kebimbangan harus membunuh kakeknya, Jaka Dila memilih menyepi di
Candi Tawangalun dan kemudian mukso.
“Versi ceritanya beragam. Ada
yang meyakini bahwa candi ini dibangun Putri Alun untuk tempat semedi Jaka
Dila. Sebagian juga mengatakan ini persembahan Raja Brawijaya II untuk Putri
Alun. Tapi intinya sama, Candi Tawangalun ini merupakan tempat semedinya Jaka
Dila sebelum akhirnya muksa,” jelas
Saiful.
Disamping kisah tersebut,
candi sederhana yang cenderung berantakan tersebut juga konon masih menyimpan
nilai-nilai mistiknya sendiri. Banyak kejadian menarik yang pernah disaksikan
warga Buncitan, termasuk Saiful ketika masih anak-anak.
Seperti ketika ada seorang
bapak mengambil beberapa batu bata dari Candi Tawangalun untuk dipasang di
rumahnya. Malam harinya, ia merasa
didatangi sesosok orang yang lantas memukulinya. Keesokan harinya, batu yang
telah terlanjur terpasang itu pun dibongkar, dan dikembalikan ke kompleks
candi. Tak berapa lama kemudian, si bapak pun meninggal dunia.
“Ada juga kejadian di
satu sekolahan yang seluruh siswanya kesurupan. Usut punya usut di sekolah
tersebut banyak batu bata candi ini. Akhirnya ya dikembalikan dan berjanji
tidak akan mengambil lagi,” terang Saiful yang sudah hampir 14 tahun menjadi
Juru Kunci Candi Tawangalun. (hay)