Pagi itu . . .
My Beloved Nazriel,
Maaf . . . maaf untuk semua kekacauan yang telah terjadi.Jauh di lubuk hatiku aku hanya ingin melakukan yang menurutku terbaik, denganstandart yang kupunya. Tapi aku lupa bahwa kau pun punya standart yang juga kaupunya dan aku hampir-hampir tak mau tahu itu. saat aku mencoba untukmemperbaiki semuanya, aku telah kalah. Kalah untuk peperangan yang tak pernah kupahami.
Yang kita alami adalah kisah yang aneh. Dimanakah dimulaidan dimanakah akan berakhir?
Apa yang ditakdirkan untuk kita? Baik aku ataupun kaujuga tidak tahu.
Tapi aku ucapkan Selamat. Kau telah memiliki seseorangyang kau cintai dan kuharap juga mencintaimu, dengan lebih baik daripadaku.Meskipun untuk itu, aku harus merelakan kau menjauh dariku.
Semoga ada masa dimana kita akan dipertemukan dalamkeadaan yang jauh lebih baik lagi, tanpa luka di hati
Fahmi
“Hey . .!!”
“Kenapadisembunyikan? Kau pikir aku tidak tahu kalau surat itu hampir tak terbaca lagitintanya karena tak terhitung lagi berapa kali air mata membasahinya, kendatikau selalu membuka dan seolah membacanya. Padahal kau pasti telah menghafalnyadiluar kepala,”
Aku mencoba untuktak memperdulikannya dan beralih memainkan beberapa file di laptop yangsejatinya tak bermasalah. Mas Candra memutar kursiku menghadapnya menatapkulekat, pandangannya terlihat lebih tajam dari yang pernah kutahu.
“Mas kenapa sih?”tanyaku dengan sedikit salah tingkah dan merapikan posisi dudukku.
“Cobalah untuklebih lunak pada hatimu. Kau pikir siapa yang sedang kau bohongi?”
Aku menutup telingaberharap omelannya ini tak membuat kepalaku semakin berdenyut. Seperti biasa,saat merasa cemas tubuhku akan gemetar dengan keringat dingin yang berkejaran.Tapi aku senang, karena selalu dengan cara ini, Mas Candra akan menghentikanceramahnya.
“Cukup Mas, kauakan membuat seisi otakku mencuat jika terus menceramahiku,”
“Aku baru akanberhenti menjadi sangat menjengkelkan bagimu jika kau pun berhenti menjadisangat menyebalkan. Mengakui cinta tidak akan membuatmu turun derajat putri ..”
“Kan udah ada MasCandra, yang jadi pacarku . . .” ucapku sedikit meledek sembari meninggalkanruangan. Aku tahu dia tengah mengeram jengkel. Huh! Lagi-lagi kepalaku pening.
Mas, maaf membuatmu terlibat dalam pilihan bodohku ini.Tapi, hanya ini pilihan logis yang bisa kujalani. Kelak kau akan tahu, cintaini tak seindah yang kita bayangkan kendati tidak seburuk yang aku takutkan!
***
Bak peri kahyangan,awan lembut itu terasa membalutku. Gumaman sang bayu laksana melodi darinirwana yang memberi keteduhan. Urat di tubuhku tercekat tatkala pasirbercampur air laut itu menyentuh kaki telanjangku.
“Yuhuu . . .pasirnya lembut banget, ih ada kerang,” aku heboh sendiri berlari di tengahpasir.
“Oyy . . sini mainpasir!” ajakku pada yang lain, sayang semua menggeleng enggan. Kecewa.
Aku lihat mata itu, mata yangdalam diam selalu mengawasiku. Ingin rasanya tersesat dan hilang dalampandangan itu, tanpa pernah ada jalan pulang. Karena pulang berarti pergi jauhtanpa ada jalan kembali.
“Kenapa?” tanya MasCandra menepuk punggungku. Aku menggeleng dan tersenyum sekenanya.
“Mau main pasir??Ayo aku temenin. Ehm . . bikin apa ya? Nah aku tahu, aku bikinin istana pasirya!” Mas Candra berbicara sendiri seolah aku mengiyakan semua yangditanyakannya.
“Ya sudah . . kapan-kapan kita buat lagi. Masihada banyak waktu untuk bermain. Sekarang kita gabung dengan yang lain yuk!”ajaknya sembari membawaku pada rombongan yang tengah sibuk membakar ikan ketika istana pasir yang susah payah kubangundihempas ombak. Rata dan tanpa bekas.
“Hey . . udah mainnya??Kalian ini heboh sendiri, mainan pasir lagi kayak adek aku yang masih umur 7 tahun demen tuh main pasir, hehe” ledek salah seorang teman.
Lagi-lagi aku hanyatersenyum manyun. Buat apa mengelak tidak ada buruknya menjadi anak kecilketimbang menjadi dewasa dengan segala kebohongan yang kami buat sendiri.Mungkin dengan cara ini, aku bisa lupa bahwa aku tak pernah sepenuhnya jadidewasa.
“Ssshhtt . . . kokdiem aja, jelek ah manyun gitu!” bisik Mas Candra di telingaku. Kugamit lengannya dan bersandar di bahunya. Semua hanyut dalam keriangan yang coba kucicipi meski hambar.
***
Pagi ini harusnya menjadi pagi yang indah. Matahari berwarna emas dengan taburan kapas awan putih membuat teriknya terasa hangat. Di tepi pantai, pasir basah pun terasa hangat. Aku menjadi manusia pertama di pantai ini yang datang menyambut mentari pagi.
Tiiit . . tiit . .
Sebuah sms mengetuk ponselku.
Candra
Putri tidur . . tumben pagi-pagi udah gak ada di rumah, ngumpet dimana ya???
Aku tersenyum gelimeski kurasakan sendiri teramat kupaksakan.
Sampai hari ini, cuma kau yang tahu dimana aku selalu menghilang dari keramaian
Balasku kemudian. Kurebahkan tubuhku di atas pasir hangat itu. hangatnya terasa hingga tulangmeski tak sampai ke hatiku. Tetap beku. Terpejam, metatap jauh pada kekosonganyang sangat kusadari.
Tak berapa lama, sipengganggu itu pun datang. Aku tak beranjak ataupun bereaksi kendati menyadarikehadirannya. Hingga aku sadar dia mencoba mengambil amplop yang tadinyakugenggam.
“Jangan!” cegahku.
“Dari siapa?”kujawab dengan tarikan nafas panjang untuk membuang lelah yang tak kupahami dibagian mana.
Mas Candra merebutsurat itu dan membawanya menjauhiku. Aku mencoba mengejarnya tapi pening dikepalaku mencegahnya.
“Kau lihat! Inibuah dari kebohongan yang kau buat!” ucapnya dengan suara yang berat nyaris seperti hendak membentakku.
“Aku tidak merasa pernah membohongi siapapun. Aku hanya tidak mengatakan apa yang dia mauketahui,” balasku membela diri sembari memijat-mijat kepalakuu yang masih diderapening.
“Kau pikir ituberbeda . . .”
“Sama atau tidak,semuanya memang tidak pernah diawali. Jadi biarlah dia pergi dan menjalani hidupnya sendiri,”
Mas Candra menengok jam tangan jill co yang kuhadiahkan di hari ulang tahunnya sebulan yang lalu.Lantas menarik lenganku. Kucoba mengelak karena kutahu maksudnya. Tapi dengankondisiku sekarang, tubuhku terasa ringkih untuk sekedar melepas genggamannya.
“Mas . . kumohonberhenti mencoba menjadi pahlawan untukku . . aku gak butuh ini,” paksaku didalam mobil.
“Aku memang bukanpahlawan dan tidak akan pernah mencoba menjadi pahlawan. Tapi aku sudah bersumpah menjadi kakakmu di depan orang tuamu, seorang kakak tidak akan pernah rela melihat adiknya terjerumus dalam kebodohan yang dibuatnya sendiri.”
Aku hanya bisa menangis tersedu. Aku sadar dia hanya menginginkan aku mendapat apa yang bisamenjadi alasan kebahagiaanku. Dia, anak lelaki dari pekerja di kebun almarhumpapa, yang kemudian diberi tempat sebagai anak laki-laki di rumahku. Dan sejaksaat itu dia menjadi malaikat pelindung bagiku.
***
Puluhan nyawamemadati bandara terbesar di pulau jawa itu. kepalaku semakin tak tertahan namun terpaksa saja kuikuti Mas Candra yang menarik tanganku. Seperti ibu yang mendapati putrinya yang bandel. Hingga kakiku bagai tak lagi berurat, pun tak bertulang sekedar menopang tubuhku yang ringkih. Aku tersungkur dan menimpa Mas Candra, membuat kami berdua terjerembab ke lantai.
“Mas, cukup! Aku lelah,” selepas itu aku tak lagi melihat apapun.
***
“Candra, maafkan Om! Harusnya kau tahu lebih awal. Kau benar, rasa sakit yang dialaminya setiap kali merasa cemas memang bukan pusing biasa. Semua itu karena, Kanker! Sebagai dokter, Om hanya bisa menyarankan agar dia menjalani pengobatan sekecil apapun kemungkinannya untuk sembuh. Tapi Om kenal betul Nazriela, dia tidak akan mau menghabiskan sisa waktunya di ranjang rumah sakit. Buat dia bahagia di sisa hidupnya,”
Huuh . . . ucapan Om Hendro bagaikan badai yang tak henti-hentinya mendentum di telingaku tapi sakitnya menggema tepat di ulu hatiku. Dengan langkah gontai kumasuki kamar rumah sakit tempat Nazriel dirawat. Aku baru sadar tubuhnya sangat ringkih dibanding yang kusadari selama ini. Ceruk matanya terlihat jelas saat terpejam. Nafasnya, aku nyaris tak mendengarnya, kendati aku tahu peri kecilku ini masih bernyawa.
Kugenggam tangannya erat mendekap jantungku, berharap sakit di tempat itu berkurang meski justru semakin sakit. Ia terbangun. Apa aku mengganggunya?
“Riel . . .apa-apaan ini? Apa kau ingin membuat semua orang yang menyayangimu merasakan penyesalan seumur hidupnya? Membuat orang yang mencintaimu kehilangan haknya untuk . . .” suaraku terpotong oleh bekapan tangannya di mulutku.
“Aku bahkan belum sadar aku dimana, kau sudah mencercaku dengan berbagai tuduhan. Benar-benar tidak berperasaan,” ucapnya tanpa berdosa. Seolah kebohongan yang dilakukannya ini adalah hal yang paling berperasaan. Tapi aku sadar, bukan saatnya mendebat Nazriel. Jika tidak boleh dianggap terlambat, mungkin aku hanya sedang berbaik hati membiarkannya menang.
***
Menyadari akhir dari sebuah perjalanan ternyata tak terlalu buruk. Pagi itu masih keemasan,siang yang memutih, sore dengan merah saganya, malam dengan hitamnya yang menawan, bahkan senja yang keabuan nan damai. Aku suka semua kecantikan ini Tuhan!.Secantik dia. Dia yang kini hanya bisa kusimpan di beranda hatiku. Save her Soul, God!
“Save His Soul, too God!” doaku dalam hati. Status Fahmi di akun pribadinya. Aku tidak menangis,sungguh. Kenapa pula aku harus menangis jika kutahu dia dalam keadaan yang baik. Sakit di hatinya akan sembuh. Kuyakin. Meski tidak tahu kapan.
***
Entah sudah berapa pagi kulewati dengan melihatnya meringkuk di kursidan bersandar di ranjang tempatku terbaring. Seolah memiliki alarm otomatis, ia akan bangun tak lama setelah aku membuka mata atau barangkali ia tak pernah benar-benar tertidur. Lalu dengan tanpa kuminta dan mengomel sepanjang pagi memintaku meminum berbagai macam pil yang akan membuatku muntah untuk beberapa waktu.
“Mas, bisa tidak jangan menjejaliku obat-obatan ini terus? Saat muntah rasanya seluruh isi perutku mau keluar. Bisa-bisa aku justru akan mati lebih awal karena kecapekan muntah,” rajukku. Kupasang senyum sebisaku berharap ia menuruti kemauanku.
Dia terdiam cukup lama, lalu pergi tanpa menoleh.
“Terserah kau saja!” ucapnya sebelum akhirnya menarik gagang pintu kamarku dan menghilang dibaliknya.
Apa aku melakukan kesalahan? Apa dia marah?
“Mas . . .” aku menghampiri Mas Candra yang berdiri mematung di jendela ruang tamu menghadap taman kecil didepan rumah.
Aku mungkin bukan yang paling tahu siapa dia, tapi aku tahu kali ini hatinya tengah terluka. Luka yang sangat dalam. Karena apa? Jangan Tanya aku, karena aku pun mempertanyakan itu.
Dia berpaling ke arahku dengan ekspresi wajah datar. Aku tak banyak bicara, kutarik tangan kanannya dan mengulurkan pil yang tadinya kugenggam kemudian menunjuk ke mulutku yang menganga.
Dia tertawa kecil, sepertinya sangat dipaksakan. Kusimpulkan itu karena aku lihat matanya berkaca. Sekilas nampak ia mengusap matanya saat membelakangiku untuk mengambil segelas air.Kubiarkan saja. Biarlah itu menjadi rahasianya.
***
Jika bisa merencanakan hidup, mungkin aku akan memilih untuk tak pernah mengenal kalian. Dengan begitu aku tak perlu merasa memiliki segenap bahagia yang justru membuatku tercekat menyadari itu tak selamanya milikku. Jika aku harus pergi untuk sebuah takdir yang lain.
Aku benci menjadi sangat bahagia, melihatnya mencurahkan seluruh kasihnya yang kini justru kubaca sebagai sebuah salam perpisahan. Aku benci melihatnya berusaha tersenyum diatas luka yang ia buat sendiri. Aku benci karena aku hanya bisa diam melihatnya membohongiku dan bisa jadi mendustai dirinya sendiri.
“Ariel berjanjilah padaku, ini terakhir kalinya kau melakukan hal yang payah. Sekali saja, ijinkan hatimu untuk bahagia,” di sebuah taman tanpa sebuah maksud yang bisa kucerna. Tapi makhluk kecil di kepalaku tak membuat kecerdasanku menurun drastis.
Segera aku mengerti, ketika sesosok pria yang tidak bisa dibilang tambun meski juga tak terlalu jangkung. Mungkin kekar kata yang tepat meski tak atletis. Kacamata minusnya semakin tebal jika aku tak salah tebak muncul dari dalam Toyota Yaris bercat hitam yang belum semenit yang lalu terparkir di jalan depan taman tempatku duduk.
Fahmi. Apa masih perlu aku bertanya kenapa dia disini? Semua pasti ulah malaikat bodoh di sampingku ini. malaikat yang tak melepas genggaman tangannya sejak setengah jam yang lalu. Seolah aku ini layang-layang yang hampir putus.
“Apa aku harus bilang lagi bahwa jangan pernah berusaha jadi malaikat untukku, aku tidak butuh ini,” ucapku setengah berbisik berharap pria didepan kami tak mendengarnya.
“Ariel, cukup! Cukup kau mengambil hak kami. Berikan Fahmi haknya, haknya untuk mencintaimu,. Seperti telah kau berikan hakku sebagai kakak yang ingin sekali saja menjadi berguna untuk adik kecilnya” kali ini ia melepaskan genggamannya lalu memberikan tempatnya pada pria berkacamata minus yang mematung di depanku.
Tuhan, aku harus bagaimana? Aku ingin dia ada disampingku tapi tidak dengan cara ini. kenapa menambah satu lagi orang untuk menangisiku?
***
Aku kembali ketempat ini. Tepi pantai dengan pasirnya yang selembut sutra. Ombaknya yang berbusa seperti soda. Batuan karang yang tak pernah menjadi terlalu dingin ataupun panas. Seperti aku. Aku yang mungkin takkan pernah lagi seperti dulu kendati aku tak sepenuhnya berubah menjadi orang lain. Aku masih tetaplah Fahmi, pria lugu yang hampir-hampir kehilangan cinta karena kebodohannya.
Kini ketika aku mungkin telah kehilangan raganya, bisa saja aku berdalih hidupku telah berakhir tapi toh aku masih disini. Menjalani kehidupan dengan segenap cinta yang ia tinggalkan. Tak seperti raganya, ia tak pernah benar-benar menghilang. Aku tahudia masih disini.
“Ayah . . .” lengkingan kecil dari tepi pantai menjagakanku dari lamunan. Ya, dia tak pernah benar-benar meninggalkan kami. Dia masih disini dalam jiwa kecil buah hati kami.
“Ayah, tahu tidak tadi paman ceritain tentang bunda,” cerocosnya tanpa menghentikan kesibukannya bermain pasir. Kemudian tanpa menungguku menjawab ucapannya ditariknya aku membelakangi laut dan memaksaku bersimpuh. tadinya aku pikir dia tidak ingin aku mengernyit karena silau oleh sinar matahari. Ternyata tidak, dia menjadikanku tameng untuk melindungi istana pasirnya dari terjangan ombak.
“horee . . . istanaku selamat, punya paman hancur . .” teriaknya kegirangan. Tertawa lepas.
“Iya . . tapi kamu bikin Ayah basah semua,” ucapku memasang muka marah yang kubuat-buat.
“Kan aku cuma gak mau istanaku hancur kayak punya bunda,” keluguannya sungguh menyentakku. Aku dan Candra saling berpandangan, tersenyum kecut seolah menertawakan kebodohan kami sendiri.
“Ya sudah. Ini sudah sore, sebentar lagi gelap, waktunya kita pulang,”ajak Candra mengalihkan suasana. Membersihkan putriku yang belepotan pasir.
“Ayah, sekarang aku tahu, kenapa ayah sering salah panggil aku Ariel,juga kenapa ayah kasih aku nama Nazria Putri,” lagi-lagi bibir mungilnya tak berhenti berceramah, sembari bergelayut di punggungku.
“Kenapa?”
“Karena Bunda, Nazriel Arya Safitri, Nazrya Putri. Namaku singkatan dari nama Bunda kan? Ayah kangen sama Bunda. Ya kan?”
Bukankah semuanya sudah seperti yang kalian mau? Sekarang giliranku, jadilah seperti yang aku mau. Menangislah jika kalian ingin menangis tapi setelah itu tersenyumlah untukku. Ingatlah, bahwa aku bahagia cinta kalian akan terus menyanderaku disini.
Dan hatiku tercekat oleh perih dan juga bahagia yang akan selalu menjadi alasanku untuk menangis, tersenyum bergantian. Tapi takkan pernah menyerah.
“Ayah . . . , ayo jawab tebakan Rya benar kan?” rajuknya
“Iya, anak Ayah ini memang cerdas. Ayah memang kangen sama Bunda, Rya juga kan? Paman juga pasti kangen, kita semua kangen Bunda. Tapi Rya harus ingat, Bunda tak pernah meninggalkan kita. Bunda ada disini, di hati kita.” Aku harap dia mengerti.