Jumat, 18 November 2016
CANDU
Tak perlu secawan sianida untuk bisa membunuhku
Sebab senyummu saja sudah cukup mematikan
Seperti halnya aku tidak butuh alasan
Ketika hati ini terikat dan memilih hidup untukmu
DENDAM
Itu jalan yang salah
Biarlah, aku tahu
Toh jalan yang benar justru membawaku dalam kubangan resah
Jangan pakai baju itu!
Itu tidak cocok untukmu
Tak pernah ada yang cocok untukku
Setidaknya yang ini tidak mencekikku
Berapa kali sudah kutelan debut serakah dari ambisimu?
Sebanyak apa harus kumengerti kicau riak dari maumu?
Bisakah sekarang kita berdamai?
Seperti permainanmu yang tak kunjung usai
Terserak apik bagai dendam yang tersemai
Bertingkahlah, selagi jiwa dalam otakku terhalang untuk berontak
Itu baik untukmu. Saat ini.
Sebanyak apa harus kumengerti kicau riak dari maumu?
Bisakah sekarang kita berdamai?
Seperti permainanmu yang tak kunjung usai
Terserak apik bagai dendam yang tersemai
Bertingkahlah, selagi jiwa dalam otakku terhalang untuk berontak
Itu baik untukmu. Saat ini.
LANGKAH
"Perhatikan langkahmu!"
Itu pesanmu, sebelum kau pergi dengan secarik rindu
Yang jelas tersobek dari sebagian hatiku
Mengurat nadi dari hati yang tak pernah bersedia menunggu
Seperti pesan itu,
Aku berjalan menyusuri lorong semu
Tentu saja dengan pilu
Sebab kemanapun arahku
Stasiunnya tetaplah dirimu
Berapa lama lagi kebohongan ini tersimpan dalam bilik hatimu?
Tidakkah kau jemu?
Bukankah hatimu masih hati yang dulu
Hati yang tersusun dari puzzle hidupku?
Baiklah, aku kalah.
Tapi jangan paksa aku menyerah!
Sebab meski berdarah
Segalanya tetap mencipta sejarah...
Selamat pulang!
GARIS TEPI
"Tak seharusnya kau melintasi batasanmu!
Perhatikan dan pahami lagi,
kemana seharusnya langkahmu kau bawa!" pesan sang empu
lengkap dengan cerutu terbakar yang telah menghitamkan garis bibirnya
Seolah menegaskan bagaimana ironi bijak selalu saja meluncur indah
seperti halnya asap dari cerutunya.
Aku tak pernah luput memperhatikan apa yang kau sebut batasan
Garis tipis yang entah siapa yang tulis
Tapi nyata, bagai tanda kepemilikan
yang sanggup mencekik hingga batas oksigenmu menipis
Lantas bagaimana aku harus membawa diri?
Jika menerima, berarti mati
Menolak berarti tersisih
Jadi tak ada bedanya dimana aku berdiri
Kau hanya tidak tahu,
Berapa lama aku telah pernah tinggal disana
Duduk manis bagai pertapa
Menikmati setiap doa yang selalu saja menguar satu persatu
tanpa terbaca
Ibu, masihkah kau me-reka batasan itu lagi?
Percayalah, seperti biasa
Batasan itu hanya akan kulintasi
Lagi, dan lagi,
Langganan:
Postingan (Atom)