(Bersambung)
Pukul
08.15 pesawat berlogo singa bersayap itu lepas landas dari Bandara berinisial
SUB meski berada di Kabupaten Sidoarjo. Seat 31C bukan sudut istimewa untuk
duduk selama 11 jam perjalanan tanpa transit menuju tujuan akhir Bandara King
Abdul Aziz, Jeddah. Tapi juga bukan sesuatu yang benar-benar kupikirkan, karena
aku sibuk dengan hal lainnya.
Hanya
sekali aku berdiri dari ‘penjara’ kursi itu untuk memenuhi tugas
kemanusiawianku. Beruntung aku memiliki gabungan ruas punggung dan tulang ekor
yang bukan buatan manusia. Sehingga bentuknya tetap utuh meski bergemeretak
seperti kerupuk renyah.
Sepanjang
perjalanan tak banyak hal yang kulakukan. Bahkan sekedar mengagumi pengalaman
pertama berkendara langit dengan durasi terpanjang. Bicarapun kukira hanya satu
atau dua kali yang tak kuingat detailnya.
Hatiku
mencair bagai telaga. Sedang mataku adalah sumber tumpahnya yang tak
terbendung. Menangis dan merapal apapun yang kubisa dan kuingat. Memanggil satu
persatu nama yang menjadi kekuatanku.
Apa
aku phobia naik pesawat? Of course no! Tapi jika ada yang
bertanya apa aku takut? Iya. Aku takut. Takut apa? Entahlah. Mungkin aku takut
semua yang kualami hanya mimpi. Bunga tidur yang akan menyisakan sesak di hati
saat terjaga. Bisa jadi aku takut tak cukup baik sebagai pribadi untuk
menjejakkan kaki di Tanah Suci. Atau takut tak bisa kembali ke tanah air.
Oke,
opsi terakhir itu sedikit konyol. Disaat pesawat beberapa kali mengalami
turbulensi karena berbenturan dengan mendung, aku justru sibuk dengan pena dan note.
Sepenuhnya mengabaikan pekikan beberapa penumpang yang panik. Atau satu dua
orang yang akhirnya mabuk perjalanan. 'Dua kekasih setiaku' itu selalu sanggup
mengalihkan duniaku. Pun juga menjaga kewarasanku di waktu lainnya. Meski tak
cukup untuk mengendalikan emosiku.
Pukul
15.15 WSA, pesawat mendarat di Bandara King Abdul Aziz, Jeddah. Sepasang
Pramugara dan Pramugari melepas kami dari sisi pintu keluar dengan senyum.
"Terima kasih, sampai jumpa kembali," seru mereka melepas kepergian
kami satu persatu.
"Maskernya
bisa dipakai kak, disini banyak virus," ujar sang pramugari padaku. Aku
hanya mengangguk dan melempar senyum terbaikku. “Ya Rabb, ijinkan aku
menghirup aroma kotaMu, dan jagalah aku,” bisikku dalam hati. Kuresapi udara yang
seketika melingkupiku. Hangat, itu yang kurasa, mungkin efek dingin tak
tertahan di pesawat dan panas diluar.
Apa
suasananya luar biasa? Tidak. Meski segala hal terasa istimewa, tapi aku takkan
melebih-lebihkan narasiku. Bandara dengan nama Raja Arab Saudi yang pertama ini
terkesan sepi. Barangkali hanya rombongan dari pesawat kami yang memenuhi
bandara ini. Mengingat kami adalah gelombang pertama umroh setelah sempat
dihentikan beberapa waktu karena Dua Kota Suci menjalani perawatan dan
perbaikan insfrastruktur.
Bersama
dengan bus bandara, kami diantar memasuki pintu kedatangan. Nampak pria
bergamis panjang dan sorban dengan perawakan tinggi serta suara menggelegar
menyambut kami. Menggiring kami mengantri di masing-masing pintu check in
untuk pemeriksaan berkas.
Team
Leader yang biasa kami panggil Ustadz Aziz mulai sibuk dengan
ponselnya. Menghubungi perwakilan yang akan menjadi pemandu kami selama di Tanah
Suci. Pukul 17.15 WSA pemandu kami sampai dan aku akhirnya teringat menelpon
orang tuaku. Mengabarkan keberadaanku. Mendengar suara mereka membuatku kembali
merasakan nyeri di ulu hati. “Ya Allah jagalah selalu kedua pelita hidupku, Gusti
. . .”
Bus
yang kami tumpangi melaju di jalanan Jeddah yang lagi-lagi cenderung sepi. Dua
orang Muthowwif (Pemandu, red) yang memperkenalkan diri bernama Ustadz
Rofiqi dan Ustadz Affan Syaiful Bahri mengisi keheningan kami dalam bus dengan talbiyah
serta Sholawat Nabi. Nada yang syahdu dan mengalun lembut lagi-lagi
meneteskan telaga di mataku.
Hari
mulai gelap dan selain sorot lampu kendaraan, tak ada lagi yang bisa kupandangi
di sisi kanan kiri jalan. Tak ada penerangan, karena yang kami lewati hanyalah
hamparan gurun pasir nan gersang. Ustadz Rofiqi dengan aksen khas Pulau
Garamnya pun bercerita tentang Kota Madinah. Kota yang diriwayatkan memiliki
dua kali keberkahan dari Kota Makkah Al Mukarromah berdasarkan Doa Rasulullah
dalam sebuah hadist riwayat Anas Bin Malik RA dalam Shohih Muslim.
Enam
jam perjalanan dari Jeddah menuju Madinah, jamaah berhenti di perbatasan dua
kota untuk menjalankan ibadah Sholat Maghrib Jama’ Ta’khir dengan Isya.’
Masjid Sasco Mahattah, begitulah Muthowwif menyebutnya yang tentu saja
bergaya Timur Tengah. Makan malam dengan menu nasi kotak pun kami nikmati di
sekitar area masjid, yang juga baru kusadari berada di area jalan tol. Menu
nasi dengan ayam goreng dan sambal yang tidak membuatku rindu tanah air. Hanya merasa,
‘Kenapa chefnya memaksakan resep nusantara dalam bahan yang jelas citarasa
Arab?” Enak, tapi tidak istimewa. Astaghfirullah.
Gerimis
menitik ketika bus yang kami tumpangi memasuki Kota Madinah. “Assamualaika
ya Rasulallah,” Ya Rabb, nyeri itu lagi, tangis yang sama. Seolah mataku
tak punya lagi cara mengapresiasikan kekaguman dan kebahagiaan selain memeras
telaga airmata yang tak jua mengering.
Sesuai
dengan namanya, Madinatul Munawwaroh, ‘Kota Yang Bercahaya.’ Madinah
memang merupakan gambaran dari struktur tata kota modern dengan banyaknya
gemerlap lampu dan gedung pencakar langit di pusat kotanya. Di malam hari-dari
sudut pandang yang tepat-, Kota Nabi ini akan nampak seperti taburan bintang di
hamparan langit yang gelap.
Bagi
yang telah berkali-kali melakukan perjalanan suci seperti halnya Umroh atau
bahkan Haji, pemandangan Kota Madinah mungkin bukan hal yang asing lagi. Namun
bagi the first comer bahkan proses terbuka dan menutupnya
Payung Masjid Nabawi pun menjadi momen spesial yang tak ingin dilewatkan.
Masjid
Nabawi-Masjidnya Nabi, tak hanya menjadi Ikon Kota Madinah, tapi sekaligus
tempat suci selain Masjidil Haram di Kota Makkah yang menjadi mimpi setiap
Muslim untuk bisa mengunjunginya. Karena di tempat inilah Junjungan Umat Muslim
sedunia bersama dua karib tercinta Nabi, Abu Bakar Ash-Shiddig dan Umar Bin
Khattab dimakamkan.
Bahkan
sebuah tempat yang dijuluki sebagai Min Riyadhil Jannah (sebagian
dari taman surga), Roudhoh, merupakan tempat
paling Mustajabah-tempat terkabulnya segala doa- yang hampir selalu ramai
dikunjungi setiap waktu. Roudhoh merupakan tempat mustajab
yang berada diantara mimbar dan Rumah Baginda Rosul, yang saat ini sekaligus Makam
Nabi beserta dua sahabat.
Hotel
Jawharat Al Rasheed, menjadi rumah kedua kami selama berada di Kota
Nabi. Hampir tengah malam ketika kedua Muthowwif dengan telaten mengantar
setiap jamaah menuju pintu kamar masing-masing. “Setiap akses menuju dan keluar
dari Masjid Nabawi melewati pintu 6 atau 7 yang lurus dari arah hotel,” terang
Ustadz Rofiqi.
Rasa
hati tak ingin menunggu lagi untuk berlari ke Masjid Nabawi. Namun, nyeri di
badan dan kebas pada mataku menyadarkan diri agar tak bertindak gegabah.
Gegabah dengan akibat fatal tersesat atau lupa jalan pulang. Suara hati yang
lantas kusesali hanya selang beberapa jam berikutnya. (2)
Sidoarjo, 15 Desember 2019 Pukul 17.52 WIB