BATU PETAPAN, ‘CIKAL BAKAL’ BATOKABAN
Masyarakat Madura umumnya menyebut
makam kyai dengan sebutan Buju’. Namun ada satu Buju’ yang bukan makam,
melainkan bongkahan batu dengan sumber air asin (laut). Buju’ Tolombung, salah
satu tetenger Desa Batokaban Bangkalan yang ditengarai merupakan cikal bakal
desa itu sendiri. Seperti apakah?
Dilihat
dari kondisi wilayah, Desa Batokaban jelas bukan kawasan pesisir. Tak ada jejak
kehidupan maritim di wilayah sisi Timur Laut Jembatan Nasional Surabaya-Madura
(Suramadu) ini. Sawah, ladang, hingga wilayah perbukitan menjadi pemandangan
utama salah satu dari 13 desa di Kecamatan Konang tersebut.
Desa
Batokaban bisa ditempuh selama sekitar satu jam tiga puluh menit dari Jembatan Suramadu.
Tidak banyak hal menarik di wilayah ini. Jalan beraspal/makadam hanya ada di
jalur utama dengan tambal sulam di hampir semua titik, rumah warga yang masih
didominasi kayu, hingga keseharian masyarakat meladang, beternak, pertukangan kayu,
dan warung makanan kecil.
Di
Madura, tentu bukan rahasia lagi jika sosok kyai merupakan figur panutan yang
tetap dihormati bahkan meski telah lama meninggal. Makam kyai seringkali dianggap
sebagai tempat keramat, terutama bagi mereka yang memiliki hajat tertentu. Beberapa
makam juga diberi sebutan Buju’, yang dalam bahasa Madura berarti orang yang
sangat tua dan dituakan dalam silsilah keluarga dan patut dituruti segala
nasehat dan arahannya.
Akan
tetapi, berbeda dengan sebagian besar tempat yang disebut buju’. Ada satu
lokasi berjuluk Buju’ Tolombung yang bukan merupakan makam. Tempat yang dikenal
sebagai petapan (tempat bertapa, red)
ini, hanyalah bongkahan batu besar di tengah area persawahan dengan sumber air
di bagian tengahnya. Yang menjadikannya istimewa adalah, air yang muncul dari
dalam batu ini berasa asin seperti halnya air laut. “Masyarakat disini percaya,
Buju’ Tolombung ini sebagai Bujellah
Tasek (Pusarnya Samudera, red),” ujar Abdul Hamid (34 th), salah seorang
tokoh pemuda Ketua Karang Taruna Desa Batokaban Kab Bangkalan.
Kepercayaan
ini dipertegas dengan adanya cerita tentang seseorang yang dikabarkan tenggelam
di Buju’ Tolombung, saat berusaha mengambil celuritnya yang jatuh ke dalam
sumber. Setelah beberapa hari, mayat pemuda yang tenggelam tersebut konon di
temukan di pantai utara, yang oleh masyarakat disebut Tobiruh.
Sebagai
tempat yang dianggap keramat, banyak lamat
(pesan mistis, red) yang selalu dikaitkan dengan keberadaan Buju’ Tolombung.
Seperti bahwa airnya diyakini dapat menyembuhkan segala penyakit, setiap orang
yang ketika datang dapat melihat gelembung air yang muncul dari dalam lubang
berarti keinginannya akan terkabul, hingga pantangan yang sedikit diskriminatif
bagi perempuan. “Di Buju’ Tolombung ini hanya laki-laki yang boleh naik ke atas
dan mengambil air. Sebab, menurut cerita orang tua, pernah ada seorang
perempuan yang naik keatas. Akhirnya air yang dulu sumbernya besar menjadi
semakin menyusut. Sejak saat itu, perempuan dilarang naik ke atas,” ujar
Bujati, salah seorang warga yang tinggal tepat di sisi barat Buju’ Tolombung.
Ada kisah
menarik Buju’ Tolombung, sebagai Petapan yang berada di kawasan Dusun Paser ini.
Konon, setiap kali seseorang bertapa disana pada suatu malam pertapaannya
bongkahan batu tersebut akan berubah menjadi ular besar yang melilit tubuh sang
pertapa. Itu sebagai bagian dari ujian kesungguhan niat si pertapa. “Buju’
Tolombung ini banyak kisah mistisnya. Mungkin karena itu tempat ini
dikeramatkan,” ujar Abdul Hamid.
Tak
hanya Buju’ Tolombung, di area yang sama sekitar 100 m arah barat daya terdapat
hamparan batuan padas seperti yang biasa ditemui di pesisir pantai. Lengkap
dengan butiran pasir dan batu-batu kecil menyerupai karang. Di lokasi ini, terdapat
semburan air yang muncul dari dalam batu dan tanah yang airnya juga terasa
asin. Semakin ke hilir, luberan air yang membentuk anak sungai kecil ini,
airnya tidak lagi terasa asin. Justru semakin tawar dan sedikit ada rasa manis.
Beberapa titik semburan juga nampak berwarna keruh yang diperkirakan mengandung
belerang. “Pernah ada dari pertamina yang ingin mengebor di tempat ini tapi
belum terealisasi sampai sekarang,” kisah Hamid.
Tetenger Desa
Sejarah
selalu hadir dengan begitu banyak versi, yang entah berkaitan atau semakin jauh
dari kisah aslinya. Budaya tutur tinular
salah satu alasannya. Sebagaimana penamaan Buju’ Tolombung dan sejarah yang
menyertainya.
Cerita
pertama menyebutkan, disebut Buju’ sebab dahulu merupakan tempat bertapa
seorang yang sakti mandraguna. Seorang sakti yang kini diyakini bermakam di
Desa Kokop Kec Konang Kab Bangkalan. “Makanya setiap bulan baik, seperti
menjelang Bulan Ramadhan, juru kunci Makam Kokop datang kesini mengambil air untuk
dicampurkan ke sumur yang ada di makam sana,” cerita Bujati yang mengaku tidak
tahu persis nama pemilik makam yang diberi sebutan Buju’ Kokop tersebut.
Sedangkan
untuk penamaannya, beberapa orang meyakini nama Tolombung merupakan gabungan
dari dua suku kata dalam Bahasa Madura. Yakni Betoh, pendeknya Toh
(Batu, red) dan Lombung (Lumbung Padi,
red), disingkat menjadi Tohlombung
atau Tolombung. Sebab bongkahan batu Buju’ Tolombung yang menyerupai lumbung
padi. Bahkan dari kejauhan, dua pohon besar yang mengapit batu nampak seperti penyangga
lumbung padi.
Cerita
lainnya, Batokaban berasal dari kata Betoh
dan Kambeng (mengambang, red),
artinya batu yang mengambang. Konon, dahulu air yang mengalir dari Buju’
Tolombung melimpah hingga membuat batunya seolah mengambang karena hanya
terlihat bagian atasnya. Versi lain, bahwa nama Batokaban berasal dari kata
Betoh dan Kaben/Keben (tempat air,
red), artinya batu yang menjadi tempat air. Selain keberadaan Buju’ Tolombung, hal
itu juga dikaitkan dengan kebiasaan orang di Batokaban menyimpan air di dalam
gentong dari tanah liat atau batu. “Sekarang memang sudah jarang orang pakai Keben. Kalau dulu semua orang punya,
terutama sebagai tempat untuk cuci muka atau wudlu,” jelas Abdul Hamid. (nurhayati)