Khrisna : Jangan berpikir, Temanku! Bunuh Raja Angga, Karna!
Karna : Jika aku dapat mengangkat
roda keretaku keluar dari lumpur, Arjuna lalu kecepatan waktu akan berubah.
Bagaimanapun aku akan berusaha untuk mengeluarkan roda keretaku. Aku adalah
Ksatria. Berusahan sampai nafas terakhir adalah tugasku. Bagaimanapun, sekarang
matahari terbenam sebentar lagi. Sebelum Suryadev bersembunyi, kamu harus
membunuhku. Sekarang aku ingin berkeliling bersama ayahku.
Khrisna : Hanya tersisa 15 menit lagi
sampai matahari terbenan, Temanku! Ambil keuntungan dari kesempatan ini! Bebaskan
Raja Angga Karna dari beban dosanya!
Terompet telah ditiup.
Genderang telah ditabuh. Tujuan telah tercapai. Kemenangan seharusnya menjadi
nyata ada di pihak kami. Tapi kenapa aku meneteskan air mata? Hatiku seperti
tercabik. Bahkan seolah panah yang kulontarkan menebas lehermu menancap tepat
di jantungku. Kenapa kebenaran ini harus kau sembunyikan, dan menjadikan kami
menanggung beban dosa akan kematianmu?
***
Aku tengah menikmati sakit akan penebusan dosaku tadinya. Sebelum, suara
magisnya menyentakku. Dan akhirnya kutahu, ini tidak akan hanya menjadi
penebusan dosa tapi juga pembebasanku. Terima kasih adikku. Di tanganmu,
jalanku menjadi sedemikian mudah.
Aku mencoba menggapainya, tanganku ingin menggenggamnya. Aku ingin memilikinya disaat terakhirku. Aku ingin semua yang tidak bisa kudapat seumur hidupku. Hanya sekali, hari ini, dan untuk terakhir kalinya. Biarkan aku menikmati, memiliki nama yang berhak untuk kusandang. Kauntheya, Putra Kunti.
Kunti : Anakku!
Karna : Kau memberi tilak padaku,
Ibu. Aku telah mendapatkan pembebasan dari semua dosaku.
Kunti : Tapi bagaimana aku bisa
mencapai kebebasan dari dosa kematianmu, Anakku?
***
Air mataku menetes,
hatiku serasa bagai disayat. Tapi aku pun tak pernah tahu, jika itu karena
sebagian dari jiwakulah yang sebenarrnya tengah meregang nyawa.
Arjuna : Kenapa ibuku menangis seperti
itu untuk kematian seorang musuh?
Khrisna : Permusuhan sudah berakhir,
Temanku. Sekaranglah waktunya kita mengingat hubungan seseorang. Hubungan yang
terlahir dari tangisan dan berakhir dengan menggenangi mereka
Arjuna : Apa maksudmu?
Khrisna : Tanyakan pertanyaan ini kepada
ibumu, Kunti!
***
Kunti : Aku tidak pernah menaruh
kepalamu di pangkuanku. Seumur hidupku, cinta seorang ibu tetap menderita
diam-diam.
Karna : Inilah kemalanganku, Ibu.
Aku tidak pernah memberimu kebahagiaan. Aku malah mendapatkan pangkuan Ibu
Radha. Bagaimanapun, aku tidak pernah bisa memberimu pembaktian dari seorang
anak, Ibu. Ibu, letakkan kepalaku di pangkuanmu, Ibu!
Kunti : Baiklah.
Karna : Aku berharap untuk
meninggalkan semua penderitaanku, dan permusuhan di pangkuanmu sebelum aku
pergi, Ibu. Letakkan kepalaku di pangkuanmu, Ibu!
Rasanya damai, Tuhan.
Aku tidak butuh apa-apa lagi. Cukup seperti ini. Dan ambillah nyawaku, kapanpun
Engkau mau. Ampuni aku, jika aku cukup pantas untuk itu. Tapi bahkan hal inipun
sudah melebihi surga bagiku. Terima kasih untuk pangkuan ibuku.
***
Mereka datang,
adik-adikku. Seperti selayaknya kematian seorang musuh. Mereka datang untuk
merayakan kemenangannya. Karena aku adalah kunci terakhir dari pembebasan yang
tengah mereka perjuangkan. Aku melihat kebencian dimata adik-adikku, kecuali
Arjuna. Dimatanya ada luka yang seolah merenggut seluruh hawa kehidupannya. Ibu,
kumohon jangan sakiti adik-adikku dengan membuka kebenaran ini. Ini menjadi
seolah pembebasanku yang lagi-lagi ternoda. Air mata dan kelemahan mereka bukan
hal terakhir yang ingin aku lihat, Ibu!
Bhima : Ibu! Apa yang kau lakukan?
Dia adalah musuh kami.
Kunti : Tidak, Bhima! Akulah
musuhnya! Siapa tahu, kenapa kau menuntut balas dendam dari dia dalam hidupnya
dan kenapa aku memberinya penderitaan terus menerus. Dan sebuah kehidupan dari
perjuangan keras.
Nakula : Kamu memberi Karna Raja Angga
kehidupan penuh penderitaan? Apa yang kamu katakan, Ibu? Maharathi ini selalu
mengambil senjata melawan anakmu. Dia tetap bersaing dengan anakmu dengan
percuma. Dia membunuh Putra Abhimanyu tanpa ampun. Dia telah mengambil sumpah
untuk membunuh kelima anakmu.
Kunti : Tidak, Nakula! Dia telah
mengambil sumpah untuk menjaga kelima anakku tetap hidup. Itulah kenapa, ia
tidak membunuh satupun dari kalian.
Yudhistira : Ibu, apa yang kamu katakan? Tolong
katakan dengan jelas!
Kunti : Yudhistira, Anakku…
Karna : Tidak…
Tidak, Ibu Ratu! Tolong diamlah! Rasa
hormat, nama baik, cinta, pengabdian, semuanya adalah istana pasir. Mereka
dibangun dengan sesaat. Aku telah disiapkan, sekarang aku telah disipkan untuk
mati. Dengan kehilangan kehormatanmu, apa yang akan kamu dapatkan? Dan bahkan
apa yang aku dapatkan dari itu? Nasib misterius kami seharusnya dikubur dalam
kedalaman waktu, Ibu Ratu.
Kunti : Tidak, Sayang! Kamu tidak
memberikanku hukuman apapun. Seluruh hidupmu, yang kamu dapatkan hanya untuk
menanggung hukuman dari kejahatanku. Sekarang bahkan jika anakku, jika mereka
menghinaku dan terus menghinaku atau memberiku sebuah hukuman itu menjadi
sesungguhnya benar.
Arjuna : Bahkan menanyakan hal ini
membuat hatiku gemetar, Ibu! Tapi, misteri apa itu? Kejahatan apa? Dan hukuman
apa? Hukuman apa, Ibu?
Kunti : Kejahatan sebelum
pernikahan. Maharesi Durwasa telah memperingatkanku untuk tidak memakai mantra
ini diluar keinginan. Sebaliknya, bukannya memetik buah, aku malah menerima
penderitaan. bagaimanapun, aku hanyalah seorang anak kecil. Kekuatan mantra
tidak dapat aku pahami.
(Suryadev : Kekuatan mantra tidak datang dalam kesia-siaan. Ketika
aku meninggalkan bagian dari kekuatanku akan kembali denganmu dalam wujud
seorang bayi laki-laki. Anakku akan menjadi tidak terkalahkan Kunti. Seluruh
dunia akan mengenalmu dengan nama Karna.)
Radha : Anakku! Anakku…
Ibu Ratu, kau telah
mengambil nyawa anakku. Apakah kamu berencana untuk merebut kenangan anakku
sekarang?! Karna adalah anakku. Dia anakku. Kamu adalah Radheya, Nak. Kamu
adalah Radheya! Kamu bukan putra dari wanita licik ini! Seekor buaya menelan
anaknya sendiri, aku telah mendengar hal semacam ini. Jika kamu telah
melahirkan anakku, lalu itu membuatmu lebih licik dari seekor buaya!
Karna : Ibu Radha,
Radha : Anakku,
Karna : Ibu Radha, aku adalah
anakmu, Ibu Radha.
Radha : Ya,
Karna : Aku adalah anakmu. Ibu Kunti,
Jangan menyalahkan Ibu Kunti!
Radha : Kenapa bukan aku, anakku?
Kenapa bukan aku? Kamu adalah ibu dari anakku? Apa yang kamu tahu tentang
anakku? Apa kamu tahu masa kecilnya? Masa kecil anakku dipenuhi dengan
kedewaan. Dia pernah melompat dari gunung. Kamu diterima di Hastinapura dengan
mandi bunga, apakah kamu ingat, Ibu Ratu? Itu adalah kemampuan anakku. Kamu telah
membuang anakku, dan kamu hadir disini sebagai ibunya?
Karna : Ibu Radha, akulah anakmu,
Ibu Radha. Kalau Ibu Kunti tidak membuangku bagaimana aku akan mendapatkanmu,
Ibu Radha? Dia, Vasudev, diapun anak dari dua ibu, lalu kenapa aku tidak bisa
seperti itu, Ibu Radha? Kenapa aku tidak bisa?
Sadewa : Apakah Karna Raja Angga anakmu,
Ibu?
Kunti : Ya, anakku. Karna Raja
Angga adalah kakak tertuamu. Dia adalah anakku. Anakku..
***
Masa-masa itu kembali diputar layaknya pertunjukan yang kami saksikan
sendiri. Hari-hari dimana kami dengan kejamnya, mencabut seluruh hakmu di
masyarakat bahkan dari pengabdian kami. Kakak, bagaimana bisa kami buta akan
sinar keagunganmu? Dan bagaimana bisa kau biarkan kami menanggung kutukan akan
kebenaran yang kau simpan ini? Apakah ini hukuman untuk kami? Kakak, jika saja
kutahu ini sebelaumnya, maka sungguh jangankan kemenangan ini, nyawa kami pun
akan kami persempahkan di telapak kakimu.
Arjuna : Apa yang membuat perbedaan,
anggaplah ini kalimat kematianmu. Karna Raja Angga kamu telah mengambil harga
diri dalam kemampuanmu dan juga kebijakan untuk penyalahgunaan seperti pengemis
lemah? Ingatlah! Kamu akan kehilangan kemampuanmu dan pengetahuanmu saat
waktunya kamu mati. Jiwamu akan habis ketika kamu mati.
Bhima : Pergilah, Anak Kusir! Dengarkan
ayahmu, karena dia tahu orang sepertimu tidak punya kemampuan!
Karna : Ketika aku melihat teratai
ini aku teringat akan kakimu, Yang Mulia!
Nakula : Kita seharusnya menunduk
sebelum menghadapi kematian Karna Raja Angga!
***
Yudhistira : Kamu telah melakukan perbuatan yang
tidak benar, Ibu! Siapa yang menyembunyikannya adalah dosa, yang mengungkapkannya
dianggap terpuji.
Karna : Tidak!
Yudhistira : Dengan menjaga pahala sebagai
rahasia kamu memberi kesialan dosa!
Nakula : Kami seharusnya menyentuh kaki
kakak kami. Tapi, kita malah menaruh senjata dihadapannya.
Bhima : Dia berhak sebagai yang
terhormat. Akan tetapi aku menghinanya sepanjang hidupku. Dia layak menjadi
bagian dari mahkota. Bagaimanapun aku selalu menganggap bahwa mutiara tetap
berharga walaupun diletakkan di kaki.
Arjuna : Aku telah melakukan perbuatan
yang jahat, Kakak! Bagaimana bisa, Ibu? Bagaimana bisa kamu membuat dosa besar?
Karna : Aku yang melakukannya,
Arjuna! Untuk membuktikan bahwa aku itu hebat. Tetapi aku senang, pada akhirnya
aku sudah membuktikan bahwa diriku hebat. Untuk membunuhku kamu harus melakukan
penipuan.
Arjuna : Bagimana aku bisa selamat dari
beban dosa ini, Kakak? Bagaimana bisa?
Karna : Letakkan kepalamu di
pangkuan ibu, Arjuna! Disitulah tempat keselamatanmu berada. Aku telah
menemukan milikku.
Ibu Radha! Inilah waktu
untuk kepergianku, Ibu Radha!
Adik-adikku tercinta!
Sebagai kakak tertuamu, maukah kalian mengikuti perintahku? Tolong jangan
menghina Ibu Kunti. Dan kau Arjuna, ajarkanlah anakku kesaktian.
Arjuna : Aku berjanji, Kakak! Anakmu akan
mendapatkan kehormatan yang selayaknya dia dapatkan. Kaulah pewaris tahta Indraprastha.
Anakmu juga akan menjadi pewaris ini, Kakak. Dia akan mewarisinya.
Karna : Melawanmu adalah kesalahan
terbesarku, Arjuna. Aku mungkin hebat, tapi kamu lebih hebat. Kamu tiada
duanya, Adikku. Kamu tiada duanya. Pemakaman terakhirku, pantasnya dilakukan
olehmu, Adikku.
Vrushali! Apakah kamu
ingat, Vrushali? Aku pernah berkata padamu, kalau seseorang yang berkeliling
melalui lautan dapat dipimpin oleh bintang kutub sekalipun. Kau selalu
menuntunku ke jalan yang benar, Vrushali. Walaupun itu terjadi di nasibku, aku
pasti akan menempuh itu suatu hari nanti. Tapi kebahagiaan itu, aku tidak
ditakdirkan untuk mendapatkannya, Vrushali. Berkeliling melewati samudera
kehidupan, aku kehilangan pandangan bintang kutubnya. Aku mengabaikan bintang
petunjuk itu, Vrushali. Maafkan aku, Vrushali!
Aku akan pergi, Ibu!
***
Tubuhmu yang terbaring
di atas kayu pembakaran, kau memintaku menyelesaikan upacara terakhirmu. Ini seperti
aku melakukan puja untuk kematianku sendiri, Kakak! Bagaimana bisa hidup
menjadi begitu tidak adil bagi kita berdua? Api yang sedikit demi sedikit
memisahkan ragamu dari kami, membakar kami sepenuhnya. Selamanya, takkan lagi
ada kebanggaan akan kemenangan yang kau tebus dengan nyawamu. Takkan ada. Seumur
hidup kami menabur luka di hatimu. Dan kami akan menghabiskan seumur hidup kami
untuk meratapinya.
Arjuna : Perang ini bercampur menjadi
kesedihan dan kebahagiaan dengan cara membedakan kesedihan dan kebahagiaan
telah menjadi tidak mungkin, Madhav.
Khrisna : Ini adalah kenyataan dari
perang, temanku. Itulah mengapa, hal terbesar dalam kehidupan adalah bukan
kekerasan. Tidak ada dasar yang lebih besar daripada bukan kekerasan.
Sadewa : Tapi kamu membiarkannya menjadi
perang besar, Vasudev?
Khrisna : Kamu tidak pernah mengambil bagian
dalam perang ini, Sadewa! Ketidakkerasan kami akan menjadikan kami sebagai
pengecut. Bukan kekerasan adalah keberhasilan, hanya ketika ini lahir dari
kekuatan dan kemampuan dan bukan ketakutan. Dengan kata lain, ketidakkerasan
kami akan menjadikan kami disebut pengecut , Sadewa! Bagaimanapun inilah
waktunya untuk perang ini berakhir.
Bhima : Vasudev benar. Hanya Duryodhana
yang belum dihukum. Aku akan membunuhnya saat fajar.
Khrisna : Kamu tidak kan bisa membunuhnya
kalau begitu, Kakak Bhima! Duryodhana adalah ksatria yang mampu tapi kamu harus
membunuhnya saat matahari terbenam. Kalian semua harus pergi dan beristirahat
sekarang. Kita semua harus bersiap untuk perang besok.