BERNAFAS DARI KAPUR
Familiar
dengan istilah tanah berbatu? Desa Pucangan punya istilah sebaliknya, batu
bertanah. Di tempat inilah puluhan orang menggantungkan hidup sebagai pekerja
batu kumbung, apalagi
jika bukan demi sesuap nasi.
Senja mulai
temaram ketika segerombolan pria berpakaian lusuh itu nampak berselonjor kaki
di halaman sebuah rumah. Kulit gelap sawo matang aksen khas penduduk pesisir,
seolah gambaran keseharian mereka memanggang diri di bawah terik matahari.
“Kalau dulu pekerjaan pembuatan
batu kumbung ini baru menyerap kurang lebih 5-10% tenaga kerja dari masyarakat.
Kebanyakan berada pada sektor pertanian dan lain-lain. Cuma setelah hampir 20
tahun ini ada perkembangan. Sektor usaha batu kumbung ini semakin besar dari
segi penyerapan tenaga kerjanya terutama pekerja laki-laki,” ujar Moh Syafi’i,
Kepala Desa Pucangan mengawali cerita.
Wilayah Gunung
Singget yang berada di Dusun Singget lah
yang kini menjadi lahan penghidupan baru bagi umumnya masyarakat Desa Pucangan.
Terlepas sebagai pemilik lahan maupun hanya sebagai buruh potong batu.
Kendati berbentuk pertambahan, namun
pengelolaan lahan batu kumbung tak ubahnya seperti tanah pertanian atau rumah
yang bisa disertifikatkan (menjadi hak milik, red). Kepemilikan tanaha diakui
telah ada sejak tahun 50an yang kemudian berpindah kepemilikan melalui warisan
atau pembelian.
Syafi’i menjelaskan bahwa pekerjaan batu
kumbung ini telah banyak merubah kondisi masyarakat. Terutama dari segi
perekonomian. Dalam lima tahun terakhir misalnya, terdapat penambahan jumlah
pemilik mobil yang besar di Desa Pucangan. Para pengusaha batu kumbung yang
mayoritas adalah penduduk lokal bergantian menambah armada untuk memperlancar
usaha mereka di sentra batu kumbung.
Hal yang tidak pernah dibayangkan
sebelumnya bahkan oleh Syafi’i sendiri, yang kini tercatat sebagai salah
seorang pemilik lahan dan pengusaha batu kumbung skala besar di Desa Pucangan. Dibantu 25 pekerja dengan empat mesin serkel
(mesin pemotong batu kumbung, red) Syafi’i mampu menghasilkan sedikitnya 6000
biji batu kumbung perhari dengan keuntungan minimal 600 ribu rupiah setiap harinya.
Lebih lanjut Syafi’i menjelaskan,
perubahan besar makin terasa dalam tiga tahun terakhir setelah adanya mesin
pemotong batu kumbung. Sebelumnya para penambang batu kumbung harus
memilah-milah lahan yang mudah dijangkau. Pasalnya, para penambang yang awalnya
menggunakan gergaji tangan harus mengambil batu dengan cara membuat
gorong-gorong di area gunung batu kapur. Selain tidak efektif dan efisien,
penambangan dengan cara seperti itu memiliki resiko kecelakaan yang tinggi.
Dengan adanya mesin serkel,
perkerjaan para penambang batu kumbung buikan saja dimudahkan, resiko
kecelakaan kerja pun bisa diminimalisir. Kini, para penambang batu tidak perlu
lagi membuat gorong-gorong yang menyerupai gua. Akan tetapi memotongnya
langsung dari atas gunung.
“Intinya dengan adanya sentra kumbung, contohya saya yang dulunya tidak
punya apa-apa, sekarang Alhamdulillah mampu mengubah status. Terlepas dari hutangnya berapa? Kalau dulu
rasanya tidak mungkin Pucangan bisa jadi seperti sekarang,” ujar Syafi’i
setengah berkelakar.
Batu Bertanah
Tidak terlalu sulit
mencari alamat Desa Pucangan. Bukan saja situasi pedesaan yang kental dengan
suasana guyub rukun. Tim DD yang terbilang awam dengan wilayah Tuban pun cukup
dimudahkan dengan masyarakat yang ramah dan paham betul ketika ditanyai alamat
orang nomor satu di Desa Pucangan tersebut.
Ke arah timur dari
alun-alun Kota Tuban sejauh 110 m terdapat belokan pertama sebelah kiri menuju
Jl Panglima Sudirman. Masih di Jl Panglima Sudirman sejuh 200 m menuju arah Jl
Raya Tuban-Gresik sekitar tujuh km kemudian sampailah tujuan di Desa Pucangan,
Kec Palang, Kab Tuban. Disinilah Tim DD mulai melacak kediaman sang kepala desa
medio April lalu.
Tak ada yang istimewa
dari kondisi wilayah Desa Pucangan. Seperti umumnya suasana desa, beberapa
areal perkebunan dan pertanian masih nampak mendominasi sebagian wilayah Desa
Pucangan. Sebagian besar tanaman palawija seperti padi, jagung, kacang tanah,
kacang panjang dan beberapa jenis sayuran menghijaukan suasana.
Tak seberapa jauh dari
pandangan mata tepatnya dari arah kediaman Moh Syafi’I di Dusun Pucangan
terlihat puncak gunung kapur yang belakangan diketahui berada di Dusun Singget.
“Kalau mau dibilang
sentranya batu kumbung Kecamatan Palang ya di desa Pucangan. Wong Desa Leran Kulon, Leran Wetan, Sendoro gak punya
gunung. Gunungnya cuma satu itu di Dusun Singget, Desa Pucangan,” jelas Kades
Syafi’I menunjuk ke arah gunung yang mulai terlihat koyak di beberapa sisinya.
Meskipun menjadi satu-satunya desa di
Kecamatan Palang yang memiliki potensi gunung kapur, namun hingga saat ini
tidak ada peraturan khusus berkaitan dengan aktifitas penambangan batu kapur
oleh warga pemilik lahan. Bahkan Syafi’I menuturkan, Desa Pucangan justru
terkenal dengan hasil pertanian khususnya kacang tanah kualitas super.
Keraguan bahwa wilayah pegunungan kapur
tentunya sulit untuk ditanami nyatanya tidak terbukti di Desa Pucangan. 40 persen wilayah Desa Pucangan merupakan sawah irigasi yang
bisa dipanen hingga dua kali setahun. Selebihnya merupakan lahan tadah hujan dan termasuk pula wilayah pegunungan.
Menariknya, di area pegunungan aktifitas
yang ada bukan saja pertambangan batu kumbung, beberapa wilayah juga tetap
ditanami beberapa macam tanaman khususnya jagung dan kacang tanah.
“Dari segi pertanian tidak ada masalah, cuma
dari segi ekonomisnya yang membuat ini menjadi beralih status. Meskipun umumnya
wilayah batu kapur tapi nyatanya tetap bisa ditanami dan terbukti subur. Karena
gak ketang sak senti limang senti yo onok lemahe (sekalipun hanya satu
hingga lima centi tetap ada tanahnya, red). Tapi kan kemudian dibawahnya itu yang mengandung kapur,” terang
Kades yang baru menjabat enam bulan saat ditemui ini.
(hay,uul)
INVESTASI EKONOMI MASA DEPAN
“Insyaallah untuk sentra batu kumbung memang lebih menguntungkan. Karena disini kita kan
harian. Setiap waktu kita bisa bekerja disini. Berbeda dengan di
pertanian yang ada tahapan-tahapan. Habis tanam seminggu lagi baru ada pekerjaan,
banyak masa kosongnya. Dan pilihannya
adalah lari ke pekerjaan ini,” tutur Syafi’I menjelaskan kenapa sentra batu
kumbung menjadi pilihan utama di tengah kosongnya masa pertanian.
Dari segi ekonomi, usaha pembuatan batu
kumbung memang menjanjikan income yang tidak sedikit. Ada dua system
kerja yang ummnya dilakukan di Desa Pucangan, pekerja harian dan borongan. Bagi
pekerja yang baru belajar biasa digaji antara lima puluh hingga enam puluh ribu
rupiah. Sedangkan bagi mereka yang telah berpengalaman, pekerja harian mendapat
gaji antara delapan puluh hingga seratua ribu rupiah perhari. Jam kerja
rata-rata sama, antara jam delapan hingga empat sore.
Sedangkan bagi pekerja borongan umumnya
mereka mendapatkan bagian 200 rupiah dari setiap batu kumbung yang dihasilkan. Nilai
ini kecil, tapi coba dikalikan dengan jumlah batu kumbung yang bisa dihasilkan
setiap harinya. Dengan asumsi minimal 1500 biji per hari permesin yang umumnya
dikelola oleh lima orang, sedikitnya setiap orang bisa mengantongi gaji enam
puluh ribu perhari. Jumlah ini akan semakin banyak seiring dengan banyaknya
batu kumbung yang bisa dihasilkan.
“Dibanding menjadi perantauan hasilnya
lumayan. Makanya sekarang
banyak perantauan yang pulang dan memulai bekerja di sektor batu kumbung ini,” terang
Syafi’i dengan nada mengiming-ngimingi.
Pemasaran batu kumbung pun relatif normal
sepanjang tahun. Didukung dengan kualitas yang jelas jauh jika dibandingkan
dengan batu bata merah. Batu kumbung karena berasal dari batu gunung asli
memiliki ketahanan yang kuat. Hal ini pula yang menjadikan batu kumbung lebih
banyak digunakan pada proyek-proyek besar.
Masih terkait pemasaran, Syafi’i mengaku
saat ini cakupannya tidak hanya lokal Tuban. Tapi telah merambah Bojonegoro,
Lamongan, Gresik, dan Surabaya. Cara pemesanannya pun sangat fleksibel. Pembeli
bisa datang langsung ke tempat pemotongan batu kumbung dan mengangkutnya. Atau
bisa pula membeli batu kumbung yang telah diangkut empunya ke tepi jalan atau
rumah.
Mengenai harga, Syafi’i mengatakan bahwa batu kumbung ukuran 10cm x 25cm umumnya dijual dengan harga 700-750 rupiah
per biji. Sedangkan
untuk ukuran 28cm x 28cm harganya yang umumnya disebut batu umpak, dijual dengan harga 4500-5500 rupiah per biji.
“Bisa diambil atau diantar tergantug
kesepakatan. Harga juga bisa bervariasi, tergantung situasi. Semisal kalau di tempat
kita biasa jual ke tetangga 500 rupiah, jika orang luar yang ambil kami bisa kasih
harga 550 rupiah perbiji. Paling ndak kan kita
juga pengen bati gak ketang 25 repes (paling tidak kita
juga menginginkan keuntungan sekalipun 25 rupiah). Sedangkan kalau sudah diluar
tempat kisaran 700-750rp,” ujar Syafi’I merincikan.
Usaha batu kumbung memang menguntungkan.
Terutama bagi mereka yang telah bisa dikatakan stabil dalam hal pola kerja.
Indikasinya, memiliki pekerja tetap, mesin lebih dari dua, armada atau mobil
pengangkut, dan relasi dengan distributor. Maka bukan berlebihan jika dikatakan,
cukup dengan ongkang-ongkang kaki, uang mengalir dengan sendirinya.
Namun, seperti pada umumnya pertambangan
setelah barang habis maka berhenti pula sumur uang tersebut. Bahkan tanpa ragu,
Syafi’i mengatakan bahwa usaha ini hanya akan bertahan paling lama 10 tahun.
Karena dalam kurun waktu tersebut bisa dipastikan, gunung yang kini masih nampak
menjulang itu akan menjadi dataran.
Menanggapi hal ini, sarjana ilmu
pemerintahan Unibraw Malang ini justru berkelakar penuh filosofis.
“Harapan saya masyarakat desa pucangan sudah
kaya semua dan sudah mampu menciptakan pekerjaan yang lain. Menggantikan
pekerjaan itu,” jawabnya. Nyaris tanpa ekspresi kekhawatiran. (hay,uul)
DATA DESA
Nama Desa :
Pucangan
Kades : Muh Syafi’i SiP
BPD : Heri Utomo, SE MM
Sekdes : Lasmari SH
Kaur Umum dan pemerintahan : Sanadji
Kaur Ekonomi dan Keuangan : Sunar
Kaur Pemberdayaan dan pembangunan : Karnadi
Kasi
Pertanian dan Pengairan : Sudjoko
Kasi
Kesejahteraan Masyarakat : M. Sunan Nur
Kasi
Keamanan dan Ketertiban : Sukikah Al Darman
Penduduk : +- 5100jiwa, Pr 2600, Lk 2500
Luas
Desa : 44.577 Ha
Dusun : Pomahan, 1 rw 3 rt Mukhohar
Singget, 2 rw, 8 rt Prayitno
Pucanganom, 2 rw, 8 rt
Pucangan, 1 rw, 8 rt Shohib
Batas-batas :
Utara : Gesikharjo, Glodog, Palang
Selatan:
Ngimbang
Barat : Cendoro
Timur : Leran Kulon
Muh Syafi’i, SiP, Kades Pucangan Kec Palang Kab Tuban
Pengen Sugih, Yo Adol Watu
Sebagai kades, pengalamannya barangkali
belum teruji waktu. Lain halnya sebagai pengusaha batu kumbung. Berbekal empat
mesin dan 25 pekerja, Syafi’i bisa dibilang adalah salah satu pengusaha besar
batu kumbung di Desa Pucangan.
“Saya ingat dulu itu ada guyonan
(kelakar, red) orang tua ‘nek
pengen sugih
yo adolen watu iku’ (kalau ingin kaya, juallah batu itu, red). Dan sekarang pepatah itu sudah
dibuktikan, memang sentra batu lebih menguntungkan secara ekonomis,” ujar
Syafi’i.
Sebelumnya, pria kelahiran Tuban 12 Juli 1981 ini pun
mengalami jatuh bangun merintis usaha batu kumbung tersebut. Mengawali usaha
dengan satu mesin berkapasitas 1500 biji perhari, Syafi’i mengaku pernah
berkeliling Bojonegoro, Lamongan, dan Gresik untuk mengenalkan batu kumbung.
Kini Syafi’i pun bisa menikmati jerih payahnya. Pasalnya, hampir seluruh toko
bangunan di tiga wilayah tersebut mengenal dan menjadi rekanan bisnisnya.
Soal
keuntungan, Syafi’i menyatakan pemilik mesin dengan empat mesin sedikitnya bisa
mengantongi 400 ribu perhari. Jumlah itu merupakan keuntungan bersih setelah
dikurangi berbagai biaya operasional, ongkos pekerja, hingga biaya penyusutan
barang.
Dijelaskan Syafi’i, di lahan miliknya ia
menjalankan system borongan bagi para pekerjanya dengan upah 200 rupiah per
biji. Dengan harga jual paling murah 500 rupiah perbiji, dikurangi 200 rupiah
upah pekerja, 100 rupiah pemilik lahan, 100 rupiah pemilik mesin, dan 100
rupiah biaya operasional dan penyusutan barang. Dengan asumsi setiap mesin
menghasilkan 1500 biji, empat mesin menjadi 6000 biji per hari. Maka baik
pemilik mesin maupun pemilik lahan bisa meraup untung kisaran 600 ribu rupiah
perhari.
Keuntungan lain dari pemilik lahan adalah
bahwa nilai tersebut bisa didapatnya hanya dengan menginvestasikan sekitar tiga
puluh juta rupiah untuk harga satu mesin serkel. Bisa dibayangkan, bagi
pengusaha dengan empat mesin speeti Syafi’I maka total investasi untuk mesin
sekitar 120 juta rupiah. Jumlah ini akan tertebus hanya dalam waktu sedikitnya
7 bulan kerja dengan perhitungan keuntungan per hari 600 ribu rupiah. Sedang
mesinnya sama sekali tidak berkurang.
Bagaimana jika lahan
batu kumbungnya sudah habis?
Masih dengan gaya santai tanpa beban, Pria kelahiran Tuban, 12 juli 1981 ini
merencanakan untuk menginvestasikan keuntungannya dengan membuka toko bahan
bangunan. Jika kelak lahan miliknya sudah tidak lagi menghasilkan.
“Siapa tahu nanti bisa beralih ke property. Atau bisa buka lahan baru di Rengel, Paciran dan
lain-lain. Yang penting
semangat kerjanya tetap tinggi,”
ujarnya mantap memungkasi pembicaraan yang tak terasa telah melewati waktu
maghrib. (hay,uul)
BIODATA
Nama : Muh Syafi’i, SiP
TTL : Tuban, 12 juli 1981
Jabatan : Kades Pucangan
Kec Palang Kab Tuban
Istri : Sumining
Anak : Amelia Maharani
(7 tahun)
Haidar Daffa Dean (2 tahun)