(Bersambung)
Akhirnya, aku menemukan alasan untuk menulis. Sesuatu yang selalu kucari. Satu dari sedikit hal yang mampu mempertahankan kewarasanku yang seringkali menguap. Sebuah Challenge dari saudaraku, Johan Rifki Maimunuddin, yang lebih suka kupanggil Joe.
Akhirnya, aku menemukan alasan untuk menulis. Sesuatu yang selalu kucari. Satu dari sedikit hal yang mampu mempertahankan kewarasanku yang seringkali menguap. Sebuah Challenge dari saudaraku, Johan Rifki Maimunuddin, yang lebih suka kupanggil Joe.
Barangkali ini tak seperti espektasimu, Saudaraku. Karena jika
kau mengharap tulisan yang serius dan berbobot, kau meminta pada orang yang
salah. Aku hanya satu dari saudara perempuanmu yang tak terlalu pandai dan suka
berkhayal.
Bulan Desember ini : *Berlapis Cahaya*
Menerima tema ini pada 30 November lalu, sontak membuatku
memikirkan dua hal. Pertama, diriku sendiri; Kedua, Madinah.
Tanya kenapa?
Aku, terlahir dan diberi nama kedua, Nur Hayati. Setelah
sebelumnya sempat menyandang nama Yusnia Zahrotul Hasanah. Nama yang dianggap
terlalu berat bagi anak sulung sepertiku. Entah apa pertimbangannya, mungkin
benar terlalu berat, karena ada mufrod dari julukan Putri Nabi Muhammad
dalam nama itu, Zahra----Azzahra.
Nur berarti cahaya. Madinah, Madinatul Munawwaroh, Kota
yang bercahaya. Terlihat clue-nya? Begitulah kadang ide di otakku
muncul. Seringkali tidak singkron, berloncatan, dan tak bisa dipahami selain
oleh diriku sendiri.
Dan untuk kali ini, aku akan berusaha menata kembali kenangan
14 purnama yang lalu. 21 Oktober 2018 atau 12 Safar 1440 H. Hari yang akan
selalu menjadi kenangan sakral bagiku. Hari yang akan selalu kukenang dengan
haru biru dan bahagia tak terperi. Perjalanan umroh perdanaku.
***
Beberapa bulan sebelum tanggal sakral itu, kabar
keberangkatanku diumumkan. Bagai kabar yang tak tahu harus kurespon bagaimana,
aku hanya tercengang. 'Yakin ini bukan mimpi? Atau aku melantur?.' Tapi sekeras
apapun usaha yang kulakukan untuk tersadar--dari sesuatu yang kusangka
lamunan--semua tak berubah.
"Bapak sudah mendaftarkan kita berempat untuk umroh tahun
ini," ddduuuaarrrr . . . . . Oke, jika suara paling mengejutkan
adalah ledakan bom yang mampu memporakporandakan sekitar, maka bom yang satu ini
berhasil membuatku berkeping-keping. Bukan hancur, hanya begitu terkejutnya
sampai tak yakin harus tertawa dulu atau menangis sekalian.
Pada akhirnya, tak satupun dari dua opsi itu yang kulakukan.
Aku hanya tercengang sembari menatap wajah pria berperangai teduh yang
kupanggil ‘Bapak’ itu dengan berbagai perasaan, yang sekali lagi tak bisa
kudefinisikan. Meski duniaku seolah terhenti, toh, semua berjalan
seperti yang seharusnya. Aku mengurus pembaruan KTP, Akta Lahir, Kartu
Keluarga, Penambahan nama, ijin cuti, hingga paspor tentu saja.
Sehari menjelang keberangkatanku, aku masih seperti manusia
linglung yang melakukan segala hal secara otomatis. Bukan karena aku berpikir
perlu melakukan ini dan itu. Otakku berhenti bekerja dengan benar. Lantunan doa
dari sanak, kerabat, dan tetangga seperti menggema di kepalaku. “Ya Rabb,
semuanya masih seperti mimpi,”
21 Oktober 2018. Pagi masih buta ketika perjalanan menuju
Bandara Juanda T1. Subuh pun belumlah tiba. Aku mendekap erat buku panduan
umroh yang kuterima dari travel, meski pada akhirnya hanya Sholawat Nabi yang
tak kuijinkan lepas dari bibir dan pikiranku.
"Jangan pernah lepas sholawat, dalam keadaan
apapun," pesan ibuku jauh hari sejak kabar keberangkatanku ditetapkan. Pesan
yang selalu diulang-ulang setiap ada kesempatan. Entah kenapa, aku kembali melihat
wajah sendu disana. Ada segurat bahagia yang diselimuti kekhwatiran khas
seorang ibu. Wajah yang selalu kudapati setiap kali aku hendak bepergian.
Hah, ibu tetaplah ibu.
Seberapapun bengalnya, aku tetaplah putrinya. Yang dibanding lemah lembut dan
penurut, aku cenderung pendiam tapi pembangkang sekaligus. "Mungkin tanda
lahir di kaki itu yang membuatmu tak bisa diam,"
Selain bingung, aku juga mendadak menjadi cengeng. Air mata
menggenang di pelupuk mataku, ketika tiba waktunya berpamitan pada keluarga.
Aku tentu tak bisa menangis di depan mereka, tidak boleh. Itulah mantera yang terus
kubaca dalam hatiku. Mereka keluargaku, tapi aku tak cukup berani terlihat
lemah didepan mereka. Aku lebih memilih dipandang bengal dan keras kepala. Itu
lebih terdengar menyenangkan.
"Meski meninggal di tanah suci menjadi impian banyak
orang, tapi jangan pernah sekalipun berpikir ingin meninggal disana. Ingatlah,
kami disini menunggumu dengan doa dan kerinduan," Pesan paman kembali
menyentuh jiwaku. Membuat air mataku nyaris jatuh tanpa kuminta. Entah kenapa
aku mudah sekali ingin menangis hari itu. Seolah-olah hatiku mencair menjadi telaga
air mata yang selalu siap tumpah. Membuatku mudah tersentuh dan terharu.
Setelah perjuangan keras mencegah air mata membanjir dengan
tidak tahu diri. Air mata pertamaku hari itu jatuh tepat ketika aku memasuki
pintu check in bandara dan mengirim pesan pamit pada Bapak.
"Jangan lupa doakan Bapak ya Nur. Sampaikan salam Bapak untuk
Kanjeng Nabi," ucapnya saat mengantar kepergian kami. Ah, sayang sekali
Bapak tak bertemu Abi dan Umi.
"Panjenengan akan menjadi doa pertama saya. Terima kasih
untuk semuanya. Saya tidak akan bisa membalas apa-apa. Semoga Bapak selalu
dilimpahi dengan kebahagiaan dan keberkahan dalam hidup,"
***
Aku masih ingat dengan jelas, keinginan tersembunyi yang
selalu kupatrikan dalam hati. “Jika aku ditaqdirkan pergi ke Luar Negeri, aku
ingin kota yang pertama kali kujejaki adalah Tanah Suci.”
Mimpi itu terwujud.
Aku tak pernah menduga, hal semacam ini akan terjadi dalam
hidupku. Keberuntungan tak terduga, rejeki yang tak disangka-sangka. Sesuatu
yang kuyakini adalah karma baik dari tirakat orang tua dan leluhurku. Karena aku sadar, siapa lah aku tanpa doa dan
restu mereka. Hanya anak gadis bengal yang kerap membangkang. Hamba yang selalu
khilaf pada Rabb-nya.
Pada akhirnya, aku juga disadarkan pada banyak hal. Cinta luar
biasa yang tersaji indah dalam hidupku. Ibu dan ayah yang sama bengalnya
denganku. Tak pernah ada kata cinta keluar dari mereka. Tapi aku tahu, bahwa
dalam diam mereka selalu menitikkan air mata di setiap doanya untukku. Bahwa
aku memiliki lingkungan yang luar biasa dengan teman-teman yang tak ubahnya
saudara.
Jika kali ini aku masih merasa sendiri, maka kukira hatiku
tertinggal di suatu tempat. Dan jika pernah sekalinya aku merasa hidup ini
gelap, maka mungkin aku buta untuk melihat cahaya-cahaya terang yang selalu menemaniku.
Keluargaku, Sahabatku. Mereka adalah cahayaku. Nurku. (1)