(Bersambung)
Hanya
sekitar dua jam mataku terpejam. Alarm pukul 02.45 WSA berteriak tepat di
telingaku sebelum akhirnya kupaksakan air dingin mengguyur tubuh dan menjagakan
mataku. Setelah cukup dengan peregangan otot sekenanya, kubangunkan
rekan-rekanku dan beralih mengirim pesan pada Muthowwif kami karena tak berhasil menelpon Team Leader. Untuk apa? Bertanya jalan menuju Masjid Nabawi, hehe.... Tahu sendiri lah.... I am a first comer. Begitu juga teman
sekantor yang jadi teman sekamarku. Ada dua lagi sebenarnya, karena kami
berempat di satu kamar. Salah satunya sudah pernah haji, tapi Eyang Uti itupun
tak lagi paham arah ke Masjid Nabi.
"Kalau
keluar dari hotel belok kanan lewat dari pintu 6 atau pintu 7 keluar masuknya," balasan WA dari Muthowwif masuk ke ponselku. Pintu yang
dimaksud Muthowwif adalah Gerbang
menuju pelataran masjid, bukan pintu masjidnya. Meskipun pada akhirnya, dengan
penuh tanggung jawab Muthowwif yang
sepantaran denganku itu memilih mengantar kami hingga ke pintu masuk area shalat
perempuan, pintu masjid ke-12.
"Jangan
lupa, keluar dan masuk lewat pintu 6 atau 7. Lebih mudah untuk sampai ke arah
hotel. Habis shalat kembali ke hotel untuk sarapan. Setelahnya ada agenda
pengenalan area masjid," terang sang Muthowwif menjelaskan agenda kami.
Nada bicara yang detail membuatku merasa seperti murid bengal yang sedang
diceramahi sang guru. Hihihi
Waktu
Shalat Subuh belum tiba saat kami memilih shof
di luar pintu 12 Masjid Nabawi. Menikmati semilir angin dingin disertai
lantunan ayat-ayat baik dari pengeras suara di masjid maupun para jamaah.
Kutelusuri setiap sudut yang bisa ditangkap oleh mataku. Mencoba merekamnya sebaik
mungkin sebagai kenangan dalam hidupku. Pintaku satu, "Semoga selalu ada
kesempatan lainnya di kemudian hari aku kembali ke tempat ini," Aamiiin....
Seolah
menjadi satu dari ritual pasti lainnya, ‘darah’ bening kembali menganak sungai
dari mataku. Menambah sembab dan kebas di wajahku yang bahkan belum tuntas sisa
kemarin. Barangkali ini pengalaman subuh pertamaku bangun di pagi buta, duduk
patuh di masjid, menikmati suasana syahdu menyambut panggilan ibadah wajib.
Karena biasanya, aku lebih sering terbangun ketika matahari nyaris mengintip
dibalik bukit.
"Mau
bangun jam berapa? Keburu Subuhnya dipatok ayam," teringat omelan ‘sang
ratu’ di rumah setiap kali bangun kesiangan. Mengingatnya, membuatku menyesali
diri yang selalu khilaf menjalankan
kewajiban terhadap Ilahi. Semakin terasa kecil diri ini.
Subuh
kulalui dengan syahdu. Ada banyak hal yang kupelajari. Disini tak ada Qunut
saat subuh dan dzikir sesudah shalat. Sesuatu yang bukan hal baru, tapi pertama
kali kualami sendiri. Bukan sekedar kutahu dari kitab pelajaran di pesantren.
Tak ada juga saling bersalaman usai shalat kecuali di kalangan sesama jamaah
Indonesia. Hal yang sangat khas Nusantara.
Satu
lagi, selalu ada Shalat Ghoib usai Rawatib. Tidak hanya di Madinah, tapi juga
di Makkah. Atau barangkali di seluruh Masjid di Tanah Suci. Entahlah, aku belum
sempat menanyakan hal itu. Mengingat aku hanya shalat jamaah di dua masjid itu
selama di Tanah Suci.
Ah,
otakku kembali memutar file-file
lawasnya untuk mengingat bagaimana cara dan bacaan Shalat Ghoib. Lantas seperti
biasa, mbah google memberi jawaban. See, ‘Santri macam apa aku ini?!’
***
Sejenak
akan kuceritakan tentang apa yang kulihat di masjid yang telah membuatku jatuh
cinta di pandangan pertama ini.
Masjid
Nabawi memiliki 41 pintu dan 44 gerbang. Pastikan mengingat dari gerbang mana
kita masuk pertama kalinya dan searah dengan hotel tempat menginap. Karena itu
akan jadi satu-satunya pintu teraman bagi jamaah agar terhindar dari ‘lupa
jalan pulang.’ Sebab, setiap sisi masjid hanya ada gedung pencakar langit yang
seringkali menyusahkan untuk diingat detailnya satu persatu. Barangkali itu
juga sebabnya, Muthowwif berkali-kali
mengingatkan hal itu pada jamaah.
Di
sekitar area masjid, para Jamaah Umroh maupun Haji dapat menemui banyak tempat
bernilai sejarah. Sebut saja Area Pemakaman Baqi’, tempat pemakaman Keluarga dan
Sahabat Nabi serta para jamaah haji dan umroh yang meninggal di Kota Suci.
Berada di sisi Timur Masjid Nabawi yang hanya bisa dikunjungi jamaah laki-laki pada
jam tertentu. Pagi setelah Shalat Subuh sampai pukul 08.00 WSA. Setelah itu
sore Ba'da Shalat Ashar hingga
menjelang Maghrib pukul 16.30 WSA.
Tak
jauh dari lokasi Pemakaman Baqi’ keluar melalui gerbang 5 terdapat Museum
AlQuran. Akan ada tour singkat saat
memasuki museum yang bisa diakses gratis tapi dibatasi dan bergantian. Pemandu tour yang kebetulan atau memang
disengaja adalah orang Indonesia membawa kami mengitari area museum. Mengenal
berbagai jenis khat AlQuran, sejarah
pembukuannya, hingga berakhir di toko yang menjual AlQuran yang disahkan dan
dipakai di Tanah Suci. Mengingat, tidak semua cetakan diterima. Hanya yang asli
cetakan Madinah dan disahkan negara yang dipakai.
“Jamaah
bisa membeli AlQuran cetakan asli disini, lalu menjadikannya souvenir atau
diwakafkan di Masjid agar menjadi jariyah,” ujar sang muthowwif yang lantas secara personal menjelaskan ‘prosedur’ Wakaf AlQuran
tersebut.
Beralih
ke sisi luar masjid sebelah barat keluar dari gerbang 6 di sisi selatan,
terdapat masjid dengan kubah putih bernama Masjid Ghamamah, yang berarti Awan. Konon, masjid tersebut merupakan
lokasi dimana Rasulullah dan para sahabat melakukan Shalat Istisqo’, shalat meminta
hujan. Dikisahkan, bahwa tak lama setelah shalat selesai dilakukan segumpalan
awan pun menyelimuti diatas tempat tersebut dan turunlah hujan. Sehingga untuk
mengenang peristiwa tersebut dibangunlah masjid.
Masih
di sisi Barat Masjid Nabawi, tepat arah Gerbang 6, bangunan masjid lainnya di
lokasi berdekatan adalah Masjid Abu Bakar Ash-Shiddiq dan Ali Bin Abi Thalib.
Dikisahkan, bahwa tempat dibangunnya masjid tersebut merupakan kediaman kedua
sahabat. Riwayat lainnya mengatakan, tempat tersebut merupakan lokasi dimana
kedua sahabat mengikuti shalat Istisqo' bersama Nabi. Ada pula riwayat
menjelaskan, bahwa disanalah shaf kedua sahabat kala mengikuti Shalat Idul
Fitri dan Idul Adha.
Kendati
berjuluk masjid, ketiga tempat tersebut tidak dipergunakan sebagai tempat
shalat. Tidak ada keistimewaan khusus untuk melakukan shalat atau amalan
lainnya di tempat-tempat tersebut. Selain dari sisi sejarahnya, untuk mengenang
peristiwa atau keberadaannya.
Makkah
dan Madinah layaknya dua sisi mata uang yang sejatinya satu meski memiliki
karakteristik yang berbeda. Menilik pada sejarah, Makkah merupakan tempat
dimana Syiar Agama Islam di masa Rasulullah pertama kali digaungkan. Sedangkan
Madinah merupakan tempat dimana gaung itu akhirnya terdengar sampai ke seluruh
penjuru dunia. Madinah, bahkan digambarkan sebagai Replika Kota Madani yang
dibangun Rasullullah.
Perbedaan
sederhana yang akan didapati pada kedua kota suci, misalnya dari segi penataan
tempat shalat. Di Madinah, kita akan mendapati bahwa wilayah bagi Akhwat dan
Ikhwan terpisah, dengan jalur dan pintu berbeda untuk masuk kedalam masjid.
Sedangkan di Makkah, pemandangan Shaf (Barisan Shalat, red) perempuan di depan
laki-laki merupakan hal yang lumrah. Meski tidak benar-benar berbaur di satu
tempat.
Namun,
dari segi ketepatan waktu dan konsistensi, patutlah kita contoh yang dilakukan
di dua masjid. Ketika Adzan berkumandang, maka seketika itu juga para Askar
(Polisi Penjaga) akan menutup pintu masuk ke Masjid. Sehingga para jamaah yang
datang setelah adzan atau bahkan terlambat harus shalat di pelataran masjid.
Masih
mengenai ketepatan waktu dan konsistensi, baik di Makkah, Madinah, bahkan
Jeddah, adalah toko-toko yang akan tutup begitu adzan berkumandang. Tidak
peduli apakah masih ada pembeli atau tidak. "Kalau ada yang tidak bayar
pun mereka tidak peduli," tutur Muthowwif
di suatu ketika. (3)
Surabaya, 30
Desember 2019 Pukul 12.26 WIB
Casinos Near Me - The DrmCD
BalasHapusThe casino offers some of the 전주 출장마사지 best slot machines, table games and slot 강릉 출장샵 machines 삼척 출장마사지 in the state of 공주 출장샵 Michigan, as well as live entertainment for 안성 출장마사지 you and your