Pagi itu masih hangat.
Sehangat senyummu yang hanya bisa kupandang lamat
dari kejauhan.
"Kya hua?" tanyamu dengan tangan
bersedekap dan pandangan mata menelisik. Menatap jauh ke retina mataku, seolah
berusaha membaca apa yang kusembunyikan disana.
"Sekarang apalagi? Apa kau datang untuk
pesta?" tanyaku, lebih seperti menantang ke arahmu.
"Pesta?" Kau bingung. Entah sebenarnya
atau hanya mengulur rasa kesalku.
"Pesta atas perginya ketakutanmu,"
kutantang kau sekali lagi. Meski dengan pandangan yang hanya melihatmu haru.
"Ketakutan yang mana yang kau
bicarakan?" Kau kesal, aku senang.
"Samudera. Jangan bilang kehadirannya tidak
pernah membuatmu sesak napas!" tuduhku.
“Sesak napas? Mungkin yang benar adalah aku sempat
merasa mati,”
“Tapi jangan kau pikir sekarang aku senang. Kau
tahu, perasaanku tak pernah sejelas itu,” ucapmu membela diri bahkan sebelum
sempat aku menghardikmu kesekian kalinya.
Kadang kupikir aku begitu kejam padamu. Tapi di
lain sisi, tak hadirmu saja masih mampu membunuhku tanpa kematian. “Apa aku
harus menyerah?” tanyaku dengan napas lelah. “Aku sudah menyerah tentangmu.
Melepasmu. Tapi kita tetap saja disini,” keluhku.
“Aku akan pergi . . .”
“Tepat di hari aku memintamu. Tanpa bertanya tanpa
alasan,” jawabku melanjutkan kalimatmu yang kuingat seperti aku tahu posisi
jari-jariku.
Kau hanya tersenyum mafhum. Duduk lagi di tepi
danau tanpa melihat ke arahku.
“Pergilah,” katamu.
“Itu seharusnya jadi kata-kataku,”
“Tapi kau tak mengatakannya,”
“Kau juga selalu datang tanpa aku memintanya,”
“I am in you. I am yours. Just not in your side,”
“Candu, jangan bicara lagi. Tapi tetaplah disini.
Biarkan aku melihatmu dan menyesapi sisa-sisa harapan yang kau tinggalkan. Bukan
untuk meraihmu, hanya untuk meyakini, sakit ini dibayar dengan bahagiamu. Itu cukup,”
“Lantas bagaimana aku merasa cukup?” Matamu
berkaca. Aku tahu, sekejab lagi hembusan angin akan meneteskannya tanpa kau
minta.
Kupalingkan wajah, sebelum tetesannya meracuniku
dengan rasa sakit yang membusuk.
“Sejak awal kau begitu egois. Berkorban sendiri
dan membiarkanku hidup dalam luka yang tak kutahu bentuknya. Kau sakit untuk
bahagiaku? Atau aku bahagia dengan sakitmu? Tidakkah kau membuatku terlihat
begitu jahat di mata dunia?”
“Dunia yang mana? Dunia di sekeliling kita ini?
Dunia yang hanya kita yang tahu? Siapa yang akan peduli, jika bahkan orang tak
tahu keberadaannya?”
“Tidurlah. Disini aku tak akan menang mendebatmu.
Dan aku tidak berpikir mendebatmu. Jika mungkin, bermimpilah keluar dari sini.
Tinggalkan aku sendiri, mungkin suatu hari itu akan kuanggap cukup,”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar