Kau datang dengan senyum yang bahkan tak mencapai garis matamu dan berkata, "Tidak kusangka, aku terganti secepat ini"
Aku hanya menghela napas seperti yang biasa kulakukan saat berharap memeluk erat dirimu tapi hanya bisa mencumbu aromamu dari garis tepiku.
"Tidak. Setidaknya belum. Ia hanya datang sekali, dan kau merasa mati?"
Kau pejamkan mata dan bersandar dengan gurat lelahmu. Hatiku sakit melihatmu terluka, tapi bukankah aku tak punya pilihan?
Kau pernah berkata akan melepasku tanpa bertanya, jika itu adalah saat dimana aku sendiri yang memintanya?
Aku mencoba hidup. Berjudi dengan keberuntungan yang tak selalu berpihak padaku. Berharap bahwa tanpamu pun ada kebahagiaan.
"Siapa dia?" tanyamu.
"Ia adalah samudera. Sebatas itu aku mengenalnya. Jangan memintaku menjelaskan lebih detail yang jelas aku tak tahu,"
"Apakah basah yang dibawanya di tanah keringmu akan menggantikan cahayaku?"
Tanganmu gemetar seirama detak jantungku. Jawaban apa yang kau harapkan dariku?
Aku berdiri dan berpaling darimu, sedang kau hanya diam menunggu. Tepat di langkah terakhirku, kau berseru, "Semoga dia untukmu!"
Aku berpaling padamu, "Kenapa tidak mendoakanku bahagia?"
"Kau adalah penguasa untuk dirimu sendiri. Doa bahagia menyakiti egoku, sementara aku berharap aku adalah alasannya,"
"Kau masih saja egois,"
"Dapatkah kuminta senyummu lagi?" kuberikan dengan percuma. "Hiduplah, meski itu bukan untukku. Berbahagialah tapi kuharap jangan melupakanku,"
Aku hanya tersenyum, tak bisa menjanjikan apapun. Katakanlah aku pengecut, tapi kuharap siapapun ingat aku pejuang terakhir yang mengukir namamu dengan darah dan air mata. Menjagamu seperti aku hanya hidup untuk hal itu. Aku tidak menyesal, hanya tak bisa menjanjikan apapun.
Hatiku beku untuk berjanji.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar