Aku
menceritakan hal ini bukan untuk kau kasihani. Atau agar kau iba padaku. Bukan.
Aku hidup meski tanpa keduanya.
Semua
orang yang kukenal dalam 11 tahun terakhir akan melihatku sebagai seorang gadis
yang telat menikah di penghujung usia kepala 2. Tidak. Itu tidak benar. Aku
tidak telat menikah. Aku hanya telat jatuh cinta.
Usiaku
17 tahun, ketika lamaran datang padaku. Seperti umumnya, gadis di negeriku.
Lamaran untuk anak gadis adalah hak ayahnya. Sedangkan ayahku, menjunjung tinggi
perintah mertuanya bagai titah ibu kandungnya sendiri. Tak ada alasan untuk
menolak. Itu adalah pertalian yang telah diikatkan sejak kelahiranku.
Lalu,
genap 18 tahun usiaku. Ketika seragam putih abu2 baru saja kutanggalkan,
pernikahanku digelar dengan sederhana. Aku putri sulung dari tiga bersaudara
waktu itu. Tapi itu tak memberiku keistimewaan untuk mendapat pesta pernikahan
yang meriah. Semua digelar layaknya pertemuan keluarga yang sedikit istimewa
karena dihadiri sesepuh desa. Yang jelas sebagian besar pun masih berstatus
kerabat jauh. Karena seperti itu pun status pria yang kemudian hari menjadi
(mantan) suamiku. Kerabat jauh dari garis ibuku.
Detail
dari kerumitan penyamaan persepsi kami sebagai pasangan adalah pernikahan yang
berada di bawah tangan. "Sejak awal yang kuinginkan adalah H*sn*a
(sepupunya). Karena aku tahu, kita
berasal dari dunia yang tidak sama. Jika kau bersedia, ikutlah bersamaku dan
tinggalkan duniamu,"
Ketahuilah,
pernikahanku hanya seumur jagung. Jika ada yang bilang, dalam 'perceraian'
perempuan selalu pihak yang salah, aku terima itu. Seperti halnya aku terima,
status jandaku di usia belum genap 20 tahun.
Aku
salah, karena merampungkan pendidikan SMA sementara (mantan) suamiku bahkan tak
tamat SMP. Aku salah, karena terlahir dari keluarga lebih berada dibandingkan
dia. Aku salah, karena status sosial keluarga tempatku dilahirkan dianggap
lebih tinggi. Aku salah, karena tinggal di rumah orang tuaku setelah menikah.
Aku salah, karena menyetujui (mantan) suamiku bekerja di usaha milik orang
tuaku.
Aku
salah, karena sampai hari ini aku berpikir: 'Mungkinkah seseorang melupakan
orang2 yang menyayanginya selama 20 tahun hidupnya, dan menukarnya dengan
seseorang yang baru 12 minggu memiliki hak atas dirinya?'
Aku
salah. Karenanya aku pasrah dengan segala stigma yang harus kuterima. Bahkan
jika itu disebut karma sekalipun.
Dua
bulan kemudian, sebuah lamaran kembali direncanakan. Tapi hal baik itu terhenti
di tengah jalan. Aku tidak berminat mencari tahu penyebabnya. Yang kutahu, dia
teman baik (mantan) suamiku. Hanya sebuah kalimat yang kuterima sebagai
konfirmasi, 'Aku tak mungkin menyakiti temanku, dengan menikahi mantan istrinya
sekalipun aku menginginkannya,'
Semua
selesai. Selesai sebelum dimulai.
Aku
melanjutkan hidupku. Melanjutkan pendidikanku. Meniti karierku yang meski tak
terlampau cemerlang. Menjalani rutinitasku. Mengambil beban dari setiap
tanggung jawab sebagai sulung. Barangkali ini caraku menukar air mata ibuku.
Aku tak dapat membuatnya tersenyum dengan kebahagiaan pernikahanku. Setidaknya
aku membuatnya tenang dengan kehidupan karierku yang tak perlu lagi ia
khawatirkan.
Dengan
permintaan ibuku, aku memang tak mengubah status dalam setiap tanda pengenalku.
Menurutnya, apa gunanya itu. Orang tidak akan mau mengerti ataupun sekedar
bertanya. Mereka hanya bisa menghujat. Sedang hidupku, tak butuh lagi kerumitan
macam itu. Aku pun patuh.
Jika
kau pikir, kisah tentang (mantan) suamiku dan sahabatnya adalah yang terakhir.
Maaf, aku harus mengecewakanmu. Aku tidak paham kapan tepatnya, tapi kerabat
jauh dari jalur ayah ibuku pun pernah menitipkan pesan lamaran. Tapi sekali
lagi, pesan itu terhenti di tengah jalan. Kali ini, Nenekku sendiri yang
memasang satir. 'Cucuku adalah putri ayahnya. Jika keponakanku saja tidak bisa
mengikuti jalannya, apalagi kamu?'
Aku
mencoba berpikir nenek hanya ingin menjagaku dari rasa sakit yang sama dan
berulang. Meski sejujurnya, aku lebih melihat kemarahan yang dipendamnya. Aku
mengecewakan dia dengan kegagalan pernikahanku. Aku membuatnya marah karena
melanjutkan hidup. Aku membuatnya kehilangan harapan untuk bisa menyatukan dua
nama keluarga melalui pernikahanku.
Aku
salah. Salah, karena tidak cukup kuat untuk mengemban setiap harapan yang
dinisbatkan pada pernikahanku.
Apa
kau mulai mengasihaniku? Jangan! Jangan membuang waktu dan energimu untuk hal
remeh seperti itu.
Atau
kau merasa bersalah karena stigma yang kau berikan padaku? Itu pun jangan.
Tidak perlu. Aku sudah terlatih menerima hal semacam itu, tak lagi terasa
seberat yang kau pikirkan. Itu tak lebih seperti candaan ringan tentang betapa
inginnya aku menghajarmu saat kau membuatku kesal. Itu tak benar-benar berarti severbal
itu.
Ohya,
kau ingat, sebelumnya aku bilang, bahwa aku tidak telat menikah: aku hanya
telat jatuh cinta. Iya, aku masih bisa jatuh cinta setelah semua yang terjadi.
Atau harus kubilang ini adalah pertama kalinya aku jatuh cinta? Meskipun aku
tidak yakin.
Kami
sama-sama kuliah di kampus kita tercinta. Di semester yang sama, fakultas berbeda.
Air dan api, itulah gambaran kami. Selalu berselisih paham tapi saling menguatkan.
Dia pria yang ambisius yang kadang kala lepas kontrol menuntut maunya. Tapi
cukup bijaksana, dewasa, dan penuh pertimbangan.
Tak
ada kata cinta dalam hubungan kami. Tapi layaknya penopang, dia selalu menjadi
kekuatanku saat aku hampir jatuh. Begitupun aku baginya.
Dia
adalah kekuatan yang kupanggil Candu. Kerinduan yang menjadi terlarang. Cinta
yang hilang sebelum teraih.
Iba?
Jangan. Sekali lagi jangan. Itu tidak ada gunanya bagiku ataupun bagimu.
Seperti
yang kau pikirkan, dia pergi dariku. Hanya selang satu purnama setelah dia
memanggilku. 'Kumohon datanglah meski untuk sekali. Bukan untuk mereka. Tapi
aku. Karena aku yang membutuhkanmu,'
Bahkan
tepat di hari pernikahannya, pria yang kusebut Candu itu masih saja
menghipnotis dengan tatapan tajamnya yang terpaku padaku. Hanya beberapa menit
yang kurasa seumur hidup. Tatapan yang hanya bisa kubalas senyum. 'Terima kasih
sudah datang. Aku beruntung memiliki dua cahaya, dan sekarang keduanya
mendampingiku,'
Apa
aku sudah bilang, kalau aku dan ibunya memiliki nama yang sama? Mungkin itu
sebabnya, aku merasa selalu ada pemujaan dalam suaranya saat memanggilku.
Mungkin itu bukan cinta. Ia hanya segan. Menghargaiku. Entahlah.
Kau
mungkin akan bilang, aku terlampau terlena, baper, salah tafsir, atau istilah
apapun yang mungkin kau sematkan. Sekali lagi aku terima stigma yang ingin kau
berikan. Aku tidak akan mengelak. Sejak awal, aku salah. Dan nikmatilah
kebahagiaan menyalahkanku.
Dan
tunggu, kau bisa menyalahkanku lagi dengan kisahku selanjutnya. Aku jatuh cinta
lagi-yang lagi-pada sahabatku. Atau setidaknya begitu kukira. Bagaimana aku
mengatakannya? Aku mengenalnya di hari pertama kuliah. Dia pemuda yang kacau.
Memiliki kepandaian diatas rata-rata, tapi malasnya juga luar biasa. Selalu
membuatku-yang kosma- harus berurusan dengan dosen dan absensi berikut
nilai-nilainya yang harus dikatrol dengan remidi.
Tapi
diluar itu, dia teman yang baik. Dia teman pertama yang menyapaku. Teman
pertama yang mengajakku dalam diskusi-diskusi menyenangkan meski terkadang
hanya dimengerti oleh kami berdua (Karya Sastra). Teman pertama yang memberiku
rasa hormat tanpa menghakimi untuk setiap hipokritku. Teman pertama yang kata
tidaknya nyaris tak pernah jadi ya bagiku.
Dia
juga teman pertama yang mengajarkanku menikmati hidup. Menertawakan kesedihan.
Juga menata ulang hati. Aku jatuh cinta padanya. Tapi secepat aku jatuh cinta,
secepat itu pula aku harus puas hanya dengan menjadi karibnya. Dia memilih
sahabatku. Aku bahagia untuknya.
Aku
pikir sudah mengubur perasaan itu. Tapi ternyata, kuburannya tidak terlalu
dalam. Aku terluka-lagi- saat tahu, hubungannya dengan sahabatku kandas di
tengah jalan. Aku ada di persimpangan. Aku tahu mereka masih saling menyayangi
walaupun harus terpisah oleh perjodohan.
Apa
kau kira aku akan ada didepannya sebagai pengganti? Tidak. Aku memilih berada
di belakang keduanya. Ayolah... Keduanya sahabatku. Sama seperti sahabat
mantan(suami)ku. Kurasa, aku berpikir sama dengannya. Aku tidak akan menyakiti
siapapun dari kedua sahabatku. Sekalipun itu dengan cara yang sama sekali tidak
salah. Bahkan sekalipun aku begitu menginginkannya.
Sekarang
katakan, kau bahagia menyalahkanku? Berbahagialah. I am happy for you, too!
Aku
biarkan ia berlalu, merajut kembali hidupnya tanpa bayang-bayang cintaku. Aku
telah bersumpah hanya akan menjadi sahabatnya, dan kutepati itu. Apa kau pikir
aku gila? Ketahuilah, aku hidup karena aku tidak cukup waras untuk menangisi
kemalanganku. Sekarang ia bahagia, kudoakan itu dengan tulus untuknya. Cintaku
murni, tapi persahabatanku jauh lebih agung.
Baiklah.
Lupakan dia!
Sekarang,
apa kau masih ingin mendengar ceritaku? Kau tidak lelah? Duduklah dengan
nyaman, luruskan kakimu, sandarkan punggung dan lehermu, karena kau mungkin
akan lelah. Atau memang sudah lelah? Tapi kuharap ceritaku masih cukup menarik
untuk kau dengar, karena aku berjanji membuatmu tahu banyak hal hari ini.
Meskipun bukan keseluruhan diriku.
Mantan
suami, sahabatnya, kerabat jauh, candu, sahabatku. Ceritaku belum berakhir,
seperti hidupku yang masih berjalan. Kau tentu pernah dengar, KKN menumbuhkan
banyak rasa, mengikat banyak hubungan? Atau kau juga mengalaminya? Tapi kita tidak
akan membahas tentangmu. Tenang saja. Hari ini adalah hariku. Tentangku.
Tapi
kali ini, aku tidak jatuh cinta. Aku menahan diri untuk jatuh cinta. Alasannya
sederhana, waktu itu masih ada Candu. Dia menyabotase seluruh kewarasanku.
Sehingga aku mengabaikan keberadaan seseorang yang mencoba mendukungku. Singkat
cerita, dia adalah orang yang menyadarkan aku dan kegilaanku akan Candu.
Sebelumnya kupikir Candu hanya obsesiku. Dia selalu begitu mengintimidasi dan
aku benci terintimidasi.
Aku mencoba menyainginya dalam setiap kesempatan, tanpa aku sadari justru pesonanya
tak memberiku kesempatan berpaling.
Ustadz, hanya itu identitas yang
kuberikan untuknya. Aku mencoba menghormatinya, meski tak bisa menitipkan hatiku
padanya. Aku sangat tahu ketulusan yang dia berikan. Tapi aku tak bisa memaksa
hatiku menerimanya. Hatiku jarang sekali bersepakat dengan otakku hingga hari
ini.
Dia menunggu cukup lama, dengan berbagai cara. Sampai akhirnya dia menyerah. Aku bahagia sekaligus terluka. Bahagia karena dia memilih kepastian dibanding menungguku. Setidaknya itu mengurangi satu rasa bersalahku, karena tak bisa menerima hadirnya. Tapi terluka, karena ia pergi dengan luka yang kutorehkan. Meski tanpa sengaja.
Dia menunggu cukup lama, dengan berbagai cara. Sampai akhirnya dia menyerah. Aku bahagia sekaligus terluka. Bahagia karena dia memilih kepastian dibanding menungguku. Setidaknya itu mengurangi satu rasa bersalahku, karena tak bisa menerima hadirnya. Tapi terluka, karena ia pergi dengan luka yang kutorehkan. Meski tanpa sengaja.
Apa kali ini kau akan bilang aku
mencoba menyombongkan diri? Tidak. Kali ini kumohon, jangan memandangku sehina
itu. Aku benar-benar terluka menjadi penyebab luka orang lain. Tapi yang bisa
kulakukan hanyalah berdoa, agar hidupnya dipenuhi dengan kebahagiaan. Jikapun itu berarti
dengan melupakan atau membenciku, kuterima. Asal dia bahagia.
Aku sangat klise ya? Iya. Begitulah
aku. Kawan, setelah semua ini, apa yang kau lihat dariku? Rasa sakit,
kebencian, kasihan, atau apa? Ketahuilah, aku tidak ingin kau berubah atau
berusaha mengubahmu. Sejak awal tujuanku hanyalah, membuatmu tahu. Bukan sebagai
apologi atas ketidakmampuanku. Bukan pula pembenaran atas setiap pilihanku yang
mungkin bagimu salah. Bukan. Sama sekali bukan.
Kawan, inilah jawabanku. Jawaban
yang tak harus membuatmu puas. Tapi aku puas, bahwa aku tak lagi menyimpan
beban rahasia. Terima kasih untuk mengingatkanku, aku memiliki jejak yang
nyaris kulupakan atau berusaha kukubur. Dan kini, aku menggalinya untukmu.
Syukurku, bahwa itu tak lagi terasa sakit.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar